Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (3) Bab 4

 

 Tidak begitu lama, rombongan Manurungngé akhirnya sampai di tepi pantai. Satu per satu usungan diturunkan. Keluar dari dalam usungan-nya dengan dinaungi payung, Batara Guru berjalan lebih jauh ke bibir pantai. Sorot matanya yang tajam mengembara jauh ke tengah samudera, bahkan berusaha menembus permukaan laut.

Riak gelombang satu demi satu menghempas di kaki Batara Guru. Matahari juga terus beranjak dan mulai bertengger di ubun-ubun. Sudah seharian penuh Manurungngé duduk menunggu, hingga rasa bosan sedikit demi sedikit menderanya.

 

Hari-hari berlalu, kucoba menyingkap kelopak-kelopak mimpi yang terus mendera; tanpa henti, tanpa tirai. Mengapa aku kau biarkan asing pada wujud, menerobos kegelapan mencari sosok anggun pengisi bilik yang tiada dua? Bukankah cinta serupa dengan laut, selalu menuntun gelombang pada sebuah akhir, pantai? Mewujud dalam jiwa yang disesaki penantian? 

 

Tak henti-hentinya ia melihat ke kiri ke kanan, namun tak ada sesuatu pun yang tampak, meski hanya burung-burung yang terbang. Berbagai binatang laut juga tak ada yang terlihat, bahkan angin dari timur pun enggan berhembus. Suasana pantai seperti mati.

Tak tahan didera kebosanan, Manurungngé bangkit dan memanggil Wé Saung Nriuq, serta kedua istrinya yang lain.

“Apa gerangan yang terjadi? Maksud apakah yang ingin disampaikan To Palanroé yang memintaku untuk datang ke pantai hari ini, menjemput kiriman yang ia berikan. Tapi sampai saat ini semuanya ternyata tak ada yang tampak,” tanyanya gelisah dan ingin secepatnya kembali ke Alé Luwu.

“Sabarlah. Mungkin ini hanya ujian untuk mematangkan kepribadian Puang,” jawab Wé Saung Nriuq.

Tetapi, sebelum benar-benar beranjak, Batara Guru dikejutkan dengan munculnya La Unga Waru dan La Ulaq Balu, kelewang emas pusakanya di Boting Langiq yang disimpannya bersama perisai emas pusakanya dari Widéq Unruq. Kelewang dan perisai emas itu dilihatnya bergantungan di tangkai pohon béropa. Tampak pula olehnya payung kilat tempat bernaungnya To Palanroé, dinaikkan di pohon padada.

Gembira sekali Manurungngé menyaksikan pusakanya turun, meski tanda tanya besar masih bertengger di batok kepalanya. La Togeq Langiq tidak yakin hanya inilah yang akan diturunkan ayahandanya, hingga ia harus menunggu begitu lama di pinggir pantai didera sinar matahari dan dihempas angin laut. Walau demikian, wajahnya tetap berseri-seri. Ia sendiri yang bergegas menurunkan La Unga Waru dari tangkai pohon béropa, mengambil payung kilat manurung, dan perisai emas pasukannya dari Léténg Nriuq.

Belum lagi keterkejutan Batara Guru hilang dan tanda tanya yang bertengger di kepalanya terjawab, dari ufuk timur lautan sekonyong-konyong menjadi terang-benderang. Bagaikan sinar bara yang ditebarkan di laut lepas, cahayanya memancar tajam ke tepi pantai dan menerangi angkasa. Saling beradu cahayanya dengan sinar yang dipancarkan matahari.

“Gerangan apa lagi yang terjadi di timur sana? Sepertinya telah diturunkan api orang Pérésola, menyala membakar samudera, hingga menerangi semua pinggir lautan,” tanya Manurungngé kepada Wé Saung Nriuq, Wé Lélé Ellung, dan Apung Talaga, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Belum hilang keterkejutan Manurungngé dan terjawab pertanyaannya, dari dasar lautan muncullah seorang perempuan yang begitu anggun, lengkap dengan usungannya, bertengger di atas permukaan air, dan dielu-elukan busa air yang berarak. Wé Nyiliq Timoq, putri mahkota penguasa Toddang Toja itu muncul dengan segala kerupawanannya. Payung berhias emas yang menaunginya, laksana bara yang menyala.

Hampir bersamaan muncul pula puluhan ribu rombongannya yang memakai sarung warna-warni, berkalungkan cahaya kilat, berbaju sutera yang bersujikan bentuk akar-akaran dari benang emas. Mereka terapung-apung pula di atas permukaan air.

Sorot mata Batara Guru menohok tajam ke tengah lautan, berusaha menangkap wajah yang tiba-tiba saja muncul di tengah samudera. Sosok yang sedang terapung di permukaan air yang ditopang oleh busa air yang berarak. Dan alangkah gembira hati Manurungngé saat mengetahui bahwa yang dilihatnya terapung-apung di permukaan laut, diiringi cahaya, dan dielu-elukan oleh busa air itu adalah sepupu sekalinya yang datang bersama rombongan.