La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (4) Bab 4
Bergegas Batara Guru memerintahkan kepada semua anak dewata manurung segera menemui Wé Nyiliq Timoq. Dalam sekejap berlompatanlah semua anak datu manurung menuju tempat putri mahkota penguasa Toddang Toja itu terapung.
Tak disangka, sebuah keanehan terjadi. Walaupun terus berusaha mendekat, akan tetapi usungan itu tak dapat juga dijangkau tangan mereka. Mereka seperti dipaksa dan digiring untuk terus menjauh dari usungan Wé Nyiliq Timoq. Karena tak mampu lagi, para anak dewata manurung itu akhirnya terpaksa kembali ke tepi pantai.
Melihat keadaan tersebut, tak tenang hati Batara Guru. Keinginan untuk segera bertemu dengan sepupu sekalinya kian tak mampu lagi terbendung. Akhirnya Batara Guru sendiri yang turun menemui sepupu sekalinya. Kerinduannya yang mendalam membuatnya tak menemui kesulitan untuk berjumpa dengan kekasih yang ditakdirkan untuknya itu. Begitu cepat, bagai disentak saja, Batara Guru telah kembali ke tepi pantai.
Bagai meneguk madu rasanya saat Manurungngé berpegangan pada usungan sepupu sekalinya yang dinaikkan ke pantai. Tak henti-hentinya mata Manurungngé menatap wajah perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Kegersangan hatinya yang sejak berada di dunia musnah begitu saja menyaksikan keelokan paras Wé Nyiliq Timoq. Tiada pernah ia melihat bandingan kecantikan perempuan belaian hatinya. Kulitnya yang bening kekuningan memantulkan sinar matahari, menjelma menjadi titik-titik matahari di seluruh wajahnya. Rambutnya tergerai ombak di ujungnya. Kehening-an matanya mengabarkan kesejukan hati. Kelopak matanya, pintu langit yang mendekap keheningan. Lentik bulu matanya, pelangi yang melengkung di cakrawala.
Wajahmu adalah keheningan yang akan terus menerus bernyanyi mengurai irama kerinduanku. Seperti pohon-pohon asam tanra tellu, kebeningan hatimu menaungi selaksa kegersangan hati. Seperti bahasa-bahasa laut yang akan larut dalam bisikan-bisikan pasir yang dihempaskannya. Angin memanggil-manggil dalam ribuan kecemasan yang kian beriak. Di Alé Lino, didih matahari mengabarkan kesunyian ke Boting Langiq dan Pérétiwi. Dari warna pelangi, musim-musim berhamburan dan menjelma rontokan bintang-bintang yang gelisah dari malam ke malam.
“Kemarilah adinda, sudilah kiranya naik ke Alé Luwu, negeri indah tempat turunnya putra mahkota dewata dari Boting Langiq. Akan kupersembahkan harta yang banyak. Tak ada duamu, adinda Wé Nyiliq Timoq, yang diturunkan untukku sebagai penghuni istana kemilau dan pemilik negeri di permukaan bumi ini.” Sejenak ia terdiam menahan gejolak batinnya.
“Dinda, jangan biarkan matamu melihat nyala lilin yang berkobar di mataku redup,” ucap Batara Guru tersendat menahan rasa malu yang datang merangkulnya begitu cepat. Ia sungguh gugup menghadapi sepupu sekalinya.
Wé Nyiliq Timoq hanya terdiam, tiada membalas sepatah kata pun ucapan Batara Guru. Wajahnya tertunduk menahan gelisah karena amukan ombak jiwanya.
Melihat Wé Nyiliq Timoq cuma terdiam, Tenri-talunruq dan Apung ri Toja —sesamanya yang muncul menjelma di Alé Lino—, segera menyembah. Dengan tenang, meski sedikit gugup, Tenritalunruq berkata:
“Ringankanlah dirimu, Puang. Jangan tampik maksud baik Puang Batara Guru. Marilah kita berangkat ke istana. Tidak baik kita tinggal di muara, dibelai angin, dihembus bayu, disengat sinar matahari, dan dikerumuni mata yang terus saja memandang.”
Sekali lagi Wé Nyiliq Timoq tak menjawab. Wajahnya masih saja tertunduk. Hanya anggukan kepalanya yang menandakan ia menyetujui perkataan Tenritalunruq. Maka diangkatlah usungan berhias Yang Muncul di Busa Émpong1 dan diarak menuju istana di Alé Luwu. Berangkat pula usungan keemasan Manurungngé.
Begitu ramainya upacara kerajaan Yang Muncul di Busa Émpong. Saling bertautan pula dengan upacara kekahyangan Manurungngé. Keduanya dielu-elukan ribuan pengikutnya dari Rualletté dan Toddang Toja. Ribuan hamba dewata manurung, dan pengikut Wé Nyiliq Timoq saling memberi jalan saat memasuki halaman istana.
Cahaya yang dipantulkan kedua usungan agung tersebut saat memasuki halaman istana amat menyilaukan mata. Laksana bara api yang disulut. Pelan-pelan kedua usungan itu diturunkan. Batara Guru segera keluar dari usungannya, berjalan menuju usungan Wé Nyiliq Timoq. Keduanya berjalan beriringan menuju tangga istana.