La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (5) Bab 4
Laksana hujan lebat taburan bertih kilat dan emas dari atas istana saat keduanya telah menginjakkan kaki pada tangga dan berpegang pada susuran kemilau. Batara Guru sendiri yang me-megang tangan sepupu sekalinya, membimbingnya menginjak tangga berkilauan, dan menuntunnya berpegangan pada susuran kilat.
Berseru Wélong Mpabaraq:
“Kuur jiwa kedatuanmu bersepupu sekali. Semoga datang semangat dewata mendekap kalian berdua. Naiklah kemari, di istanamu yang telah lama menanti. Masuklah ke dalam balairungmu, tempat kalian bertahta dan memerintah penduduk bumi.”
Wé Nyiliq Timoq terus melangkah. Di samping-nya Batara Guru mengiringi sembari me-megang ujung sarung Wé Nyiliq Timoq. Keduanya terus berjalan, melangkahi ambang cahaya, melalui lantai guruh dan langsung masuk ke dalam balairung istana. Mereka disambut penyeru se-mangat kekahyangan Manurungngé. Hampir ber-samaan, bersahutan pula bunyi upacara kesela-matan dari Boting Langiq dan dari Pérétiwi yang didahului oleh pemegang kipas dari Léténg Nriuq.
Keduanya langsung duduk berdampingan di atas permadani, dihembusi angin dari Sawang Kuttu, diperebutkan kipas emas dari Boting Langiq. Sungguh senang hati Batara Guru memandang wajah yang ditakdirkan menjadi permaisurinya. Bagai meneguk butiran madu saja perasaanya, hingga tak sedikit pun keinginannya untuk jauh dari kekasihnya. Tak dikenang lagi negeri di Boting Langiq. Semua kesadarannya telah larut dalam diri Wé Nyiliq Timoq.
***
Tiga bulan sudah berlalu, sejak Wé Nyiliq Timoq muncul di dunia bersama usungan keemasannya, diiringi busa air; sejak perkawinan yang begitu semarak, sejak kebahagiaan yang mulai memekarkan kehidupan di dunia, sejak semuanya mulai berjalan seperti....
Di suatu pagi yang cerah. Matahari baru saja menyingsing. Di luar suara kicau burung-burung terdengar jelas. Bunga-bunga yang bermekaran menyisakan kesegaran pada udara pagi yang masih basah.
Di istana, Wé Nyiliq Timoq terbangun. Duduk berdampingan dengan Batara Guru penuh kebahagiaan. Betah sudah Wé Nyiliq Timoq tinggal di dunia, berdampingan dengan sepupu sekalinya, membangun sebuah peradaban. Perlahan ia bangkit dan beranjak dari tempat duduknya, berpindah tempat duduk di sebelah selatan istana, membuka jendela kilat, lalu menjenguk.
“Gerangan apa yang ada di bawah sana, yang berwarna kuning? Daunnya agak panjang dan menjadi makanan aneka macam burung,” tanya Wé Nyiliq Timoq sembari mengarahkan telunjuknya ke arah beberapa pohon yang berbuah.
“Itulah, adinda, yang dinamakan pisang. Pisang itu sudah masak, sehingga warnanya kuning. Apa-bila pisang itu belum masak, maka kulitnya akan berwarna hijau,” jawab Batara Guru sembari ber-anjak dari duduknya dan berjalan menuju jendela.
“Dapatkah, kakanda memerintahkan untuk mengambilnya. Aku ingin menikmatinya.”
Berangkatlah beberapa orang turun ke bawah, memetik pisang tersebut dan menaikkannya ke ista-na. Agar ragu, Wé Nyiliq Timoq mulai memakannya. Setelah itu, makan pula seluruh isi istana.
Berbagai makanan dan minuman yang dilihat oleh Wé Nyiliq Timoq begitu menggoda keinginan-nya untuk terus dinikmatinya. Ia ingin merasakan berbagai makanan yang tumbuh di dunia, yang bukan saja menghasilkan daging buah, tetapi juga air yang nikmat, yang tak pernah dirasakannya di Toddang Toja.
***
Matahari berdiri tepat di atas kepala, tidak di barat dan tidak di timur bayang-bayang. Sinarnya yang begitu terik, menyisakan panas di muka bumi. Namun di tengah keriangan siang itu, mendadak dunia menjadi gelap gulita. Tak tampak wajah orang-orang, bahkan telapak tangan pun tak terlihat. Matahari seperti disentakkan ke kaki cakrawala untuk membiarkan malam menurunkan tudung hitamnya. Hanya berselang beberapa detik, badai mengoyak-ngoyak tak henti-hentinya, bunyi guntur menggelegar, kilatan petir sambar-menyambar, membelah-belah angkasa.
Saat itulah, Puang ri Laé-Laé yang tinggal di lereng gunung Latimojong dijelmakan. Diturunkan pula I Wé Salanreng dan Wé Appang Langiq, bissu yang ditetapkan di Léténg Nriuq. Barulah reda badai, dihentikan petir dan guntur yang memekakkan, dipadamkan pula kilat yang menyala-nyala, setelah Puang Matoa berada di lereng gunung Latimojong. Matahari kembali bersinar penuh. Mayapada benderang dan angin bertiup dengan damai.