Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /7/

Tahta untuk Republik Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi, Andi Jemma, Andi Djemma, Datu Luwu, Kedatuan Luwu, Kerajaan Luwu, Istana Luwu, Raja Luwu, La Galigo, I La Galigo, Kitab La Galigo, Kitab I La Galigo, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /1/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /2/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /3/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /4/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /5/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /6/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /7/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /8/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /9/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /10/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /11/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /12/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /13/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /14/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /15/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /16/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /17/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /18/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /19/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /20/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /21/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /22/, Tahta untuk Republik (Potret Perjuangan Andi Jemma dalam Puisi)... /23/


/7/

hari ini, 23 Januari 1946
langit pekat di atas kotaku
Palopo dirubung gelisah
debaran jantung para pejuang bergemuruh
menggedor-gedor kepekatan malam

aku menghitung jejak
yang ditinggalkan masa lalu
meramu semangat agar terus berkobar
dengus nafas saling beradu
dengan dingin yang kian menggigilkan

letusan senjata menyalak
terdengar di depan Rumah Sakit
para pejuang mengepung kota
teriakan takbir dan pekik MERDEKA
membumbung di udara malam
yang kian mengental

ribuan kaki kokoh tanpa alas
menggetarkan tanah
menghentak kesadaran rakyat
betapa pentingnya kemerdekaan
begitu bermaknanya kebebasan

dan langit di kota ini, meneteskan darah
peluh menderas
menikam-nikam tubuh
aku menyaksikan
kesedihan membuncah dari dalam dada
air mata mengalir
memahat sungai-sungai kepedihan
bocah-bocah tak dosa mengeja derita
dan perempuan-perempuan tanpa daya
berlarian dengan kaki-kaki beralas duka

di kota ini, mengalir deras darah pejuang
membasahi tanah Dewata yang diulur dari langit

aku dengar suara senjata menyalak
memuntahkan peluru-peluru yang kelaparan
raungan meriam-meriam mengganas
memahat dinding-dinding Istana Luwu
amarah membumbung di udara

tapi Merah Putih tetap tegar berkibar
di udara yang dipenuhi asap mesiu
dan bau anyir darah
yang menetes dari borok-borok masa lalu

meski tercabik-cabik
Merah Putih tak surut menantang matahari
tak takut menghancurkan angkara murka
tak gentar menghadapi keserakahan
tak lemah menerkam penghianatan;
tak gentar menggilas kebiadaban

langit melukis merah di atas kota Palopo
dengan tinta darah dan air mata
di atas kanvas leluhur, tanah Dewata
berkisah tentang nyawa-nyawa melayang
tentang tubuh-tubuh terkapar bersimbah darah
tentang harga diri yang terkoyak
diinjak-injak keserakahan

aku menyaksikan kota ini dari balik jendela
merasakan getaran dari peluru-peluru meriam
yang menghantam dinding Istana
dan mengoyak-ngoyak rumah penduduk

aku terdiam
debar jantungku berpacu dengan suara desingan peluru
para pemuda pejuang mengawalku
menjaga setiap gerakku
lalu membawaku keluar Istana
mengembara, melakukan perang gerilya

air mataku menetes
menggurat sungai-sungai kecil di pipiku
tak sanggup rasanya meninggalkan Istana
dan para pejuang yang menyabung nyawa
pantang mundur di garis terdepan

tak kuasa rasanya mendengar jerit rakyatku
melukis senyum, tapi menjelma perih
memahat harga diri, namun berubah derita
mengukir pekik merdeka, tetapi mewujud kematian

kulihat, keringat yang mengalir deras
membanjiri tanah di kotaku
menjelma lautan darah
mengalir dari sungai-sungai harapan
tubuh-tubuh pejuang terkapar dikoyak peluru
mayat-mayat terbujur kaku
di dekap tanah Dewata penuh kasih

aku berharap, darah yang tertumpah hari ini
akan mengalir di sungai-sungai sorga
air mata yang menetes
adalah lautan asa yang tak kunjung padam
pedihnya duka di tanah ini
melukis senyum hari esok

aku tak berharap
ada burung-burung Ababil[1] di langit Palopo
membawa batu-batu di paruh dan kedua kakinya
atau tongkat Nabi Musa membelah Laut Merah
untuk lari dari kejaran tentara Fir’aun
atau mungkin berharap ada perahu Nabi Nuh
mengantar pada pulau harapan

tidak… aku tak berharap itu

sebab di negeri Dewata ini
beribu asa berkobar-kobar menjilati langit
ada siri’[2] menyatu dalam diri
tak ingin dicabik-cabik keserakahan
di negeri ini ada kawali[3] terhunus
digenggam tangan sekuat baja
dihujam menusuk langit penindasan
di negeri ini ada tappi’[4] sekokoh gunung
dihujam memahat tanah mengusir kebiadaban

ini dada kami
dada yang selalu membusung
walau berhias lubang peluru
meski timah panas mengoyak
kendati bayonet merobek
atau meriam menghancurkannya

dada kami dialiri darah MERDEKA
walau ditindih keserakahan; penindasan
meski telah menahan perih ratusan tahun
kendati dada kami membusuk; beraroma anyir
atau bahkan dada kami tinggal tulang belulang
dada kami akan tetap membusung
mengobarkan suluh perjuangan
menggelorakan bakti pada negeri
tanpa pernah berharap
dada kami akan tetap dikenang

adakah yang lebih berharga dari siri’?
meski raga bermandi darah
menyabung nyawa
bertarung maut
harga diri akan tetap ditegakkan 

adakah yang lebih berharga
dari sebuah kebebasan; kemerdekaan?
walau tubuh-tubuh meregang nyawa
mayat-mayat terbujur kaku

aku berharap tubuh-tubuh itu
menjelma bunga-bunga beraroma semerbak
tumbuh di tanah negeri bertabur harapan


[1] Kisah tentang burung Ababil yang menyerang pasukan gajah yang ingin menghancurkan Ka’bah. Pasukan pimpinan Raja Abrahah yang merupakan Yaman, raja boneka dari kerajaan Persia dan Romawi yang memang sangat ingin menghancurkan Ka’bah ini, dibuat kocar-kacir dan hancur. Abrahah dan pasukannya tewas dan tak meninggalkan jejak.

[2] Harga diri. Secara leksikal siri’ berarti ‘malu’ atau ‘rasa malu’. Sedangkan menurut makna kultural, siri’ adalah nilai sosial kultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat seseorang sebagai individu dan sebagai anggota suatu kelompok masyarakat. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan siri’ adalah harga diri atau nilai kehormatan seseorang dalam masyarakat sesuai dengan norma sosial yang berlaku dalam suatu komunitas tertentu. Seseorang yang berpegang teguh pada siri’ akan berkorban apa saja untuk memperta-hankannya, termasuk harta dan nyawa. Siri’ dalam pandangan masyarakat Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya dianggap sebagai kewajiban adat yang harus dipertahankan serta mempunyai sanksi sosial sesuai dengan norma adat yang berlaku jika nilai siri’ dilanggar. Lihat, Idwar Anwar, Ensiklopedi Kebudayaan Luwu. Makassar: Pustaka Sawerigading, hlmn, 369.

[3] Sejenis senjata tajam berupa badik. Senjata ini terbuat dari besi dengan ujungnya runcing. Sedangkan bagian tengah pada salah satu sisinya menjorok keluar dan pada sisi lainnya datar. Bagian yang tajam hanya ada pada salah satu sisinya. Kawali dalam masyarakat Luwu mempunyai fungsi sosial yang hampir sama dengan tappi’. Tapi dalam lingkup penggunaannya ada sedikit perbedaan. Tappi’ umumnya dipakai oleh kaum bangsawan, sedangkan kawali umumnya digunakan oleh golongan to deceng (orang baik, yaitu kelompok masyarakat yang berasal dari keturunan baik-baik. Kelompok ini kadang kala masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga kedatuan Luwu, walaupun kadang sudah jauh) dan to sama (Orang kebanyakan, merupakan kelompok masyarakat umum yang tidak termasuk kelompok ata {budak}. Mereka masuk kelompok masyarakat tingkat ketiga dalam masyarakat Luwu). Ragam hias yang terdapat pada kawali dibedakan sesuai dengan status sosial pemiliknya. Perbedaan tersebut sangat tampak pada bahan yang digunakan sebagai ragam hias, misalnya emas, perak, tembaga atau kuningan. Ibid, hlmn, 131

[4] Sejenis senjata tajam berupa keris yang terbuat dari besi. Senjata jenis ini juga dikenal dengan nama gajang. Bentuknya berlekuk makin ke ujung makin kecil dan ujungnya tajam. Senjata tradisional jenis ini adalah salah satu alat yang digunakan seseorang dalam membela dan mempertahankan diri dalam pertarungan perorangan maupun dalam perang. Pada zaman dahulu, hampir setiap orang di daerah Luwu memiliki dan menyimpan keris ini sebagai senjata. Tappi’ juga merupakan salah satu pelengkap pakaian tradisional bagi kaum laki-laki. Tappi’ dianggap sebagai teman sejati yang setia menemani tuannya dalam keadaan apapun. Selain untuk membela diri, tappi’ juga biasa digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu kelengkapan dalam melakukan ritual tertentu. Ibid, hlmn, 404.


***

IDWAR ANWAR yang dikenal sebagai penulis, sastrawan, budayawan dan juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, lahir di Kota Palopo, ibu kota terakhir Kedatuan Luwu.

Lelaki yang akrab disapa Edo ini menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri 77 Palopo, SMP Negeri 3 Palopo dan SMA Negeri 2 Palopo. Idwar kemudian hijrah ke Makassar untuk kuliah di Universitas Hasanuddin.

Sejak mahasiswa, Idwar aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus antara lain; sebagai Ketua Himab Unhas, Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), dan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas.

Idwar juga pernah menjadi Presidium Pusat Aktivis 98 (PENA 98), Pengurus KNPI Sulsel (2010-2013), Sekretaris Panitia Seminar Internasional La Galigo di Barru (2002) dan Masamba (2003), menjadi Tim Perumus Temu Budaya Nusantara Dialog Budaya Nusantara (2002), Mufakat Budaya Indonesia (2018), bahkan sempat menjadi Dosen Luar Biasa di almamaternya. Dan kini sebagai Pembina Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Sulsel.

Di dunia politik, Idwar pernah menjadi Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Palopo, Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Palopo (2010-2015) dan Anggota BP Pemilu DPD PDI Perjuang-an Sulsel. Saat ini ia aktif sebagai Sekretaris DPD Banteng Muda Indonesia Sulsel (2017-2020) dan anggota Komite Kehormatan DPD PDI Perjuangan Sulsel (2015-2020).

Selain aktif berorganisasi, sejak mahasiswa sampai saat ini Idwar aktif menulis dan ratusan tulisannya dimuat di berbagai media, berupa artikel, resensi buku, esai, puisi dan cerpen. Naluri menulis juga tersalurkan di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan dan redaktur di beberapa media.

Aktif dalam dunia literasi, Idwar mendirikan Rumah Baca Arung, menjadi pemateri dalam berbagai acara bedah buku, pelatihan jurnalistik dan penulisan kreatif, serta menjadi pengurus lembaga pengembangan minat baca. Diantaranya, menjadi Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Palopo (2011-2014), Ketua Asosiasi Penulis Profesional Indonesia Palopo, Pengurus GPMB Provinsi Sulsel, dan pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulsel.

Dalam dunia kesenian dan kebudayaan, Idwar kerap membacakan karya-karyanya di berbagai tepat. Aktif sebagai Ketua Dewan Kesenian Palopo (2005-2015) dan di LAPAKSS - Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Indonesia Sulsel (2017-2021).

Beberapa bukunya yang telah terbit antara lain: Novel Merah di Langit Istana Luwu; La Galigo: Turunnya Manusia Pertama (Jilid 1); La Galigo: Mutiara Tompoq Tikkaq (jilid 2) dan La Galigo: Lahirnya Kembar Emas (jilid 3). Kumpulan Cerpen Mata Ibu; Kota Tuhan; dan Ibu, Temani Aku Menyulam Surga. Kumpulan Sajak Zikir dan Kado Cinta. Adapula Kumpulan Cerita Rakyat Tana Luwu (Jilid 1). Buku lainnya, Perang Kota: Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946, Jejak-Jejak Suara Rakyat Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo; Ensiklopedi Sejarah Luwu (2005); Ensiklopedi Kebudayaan Luwu (2006); Palopo dalam Spektrum Waktu, dan Buku-buku Pelajaran Mulok Sejarah dan Kebudayaan Luwu  untuk SD, SMP dan SMA.