Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (6) Bab 1

“Apakah saudara kita dari Toddang Toja dan semua penguasa taklukannya di Pérétiwi juga telah datang?”

Wajah Datu Palingéq seketika saja berubah dan terdiam sejenak.

“Itulah yang agak mengganjal batinku. Mengapa saudara kita penguasa Pérétiwi belum juga menampakkan diri. Apakah Pérétiwi sedang dirundung duka, hingga mereka tak juga muncul di Rualletté, di istana Sao Kuta Pareppaqé?”

 ***

 Sementara itu, jauh di Pérétiwi, ketika waktu yang ditetapkan Patotoqé, tiba, Guru ri Selleq dan Sinauq Toja bersama semua raja penguasa di seluruh Pérétiwi juga telah bersiap-siap berangkat ke istana Sao Kuta Pareppaqé. Ketika itu, telah tiba pula La Bala Unynyiq dan rombongannya.

Setelah semua penguasa di seluruh negeri Pérétiwi berkumpul, Guru ri Selleq bergegas menuju bilik bersama istrinya. Ia segera mengenakan pakaian kebesaran dari Toddang Toja: kain bersuji benang emas dari Abang Létté yang disemati emas murni terurai. Dikenakan pula ikat pinggang berwarna-warni yang diselipi dengan keris emas buatan Mata Soloq yang telah diramu. Disematkan pula ikat kepala dari Busa Émpong yang dibordir dengan benang emas berkilauan dari orang Abang dan dihamburi suji bunga matahari kekuning-kuningan.

Demikian pula dengan Sinauq Toja. Ia berkemas, mengenakan sarung bersulam kembang Waru dengan baju sutera merah bertekat benang emas dari Toddang Toja yang diurai. Pada permukaan baju sutera itu dihiasi dengan taburan sulaman kembang matahari dari Léténg Nriuq. Diraihnya pula gelang emas enam puluh lima buah sebelah-menyebelah berbataskan gelang yang bertenggerkan batu permata. Di jemarinya yang lentik diselipkan cincin emas berpermata yang besar lagi berat dari Lappaq Majang. Sedang diujung jemarinya, hiasan kuku bagaikan dedaunan menghiasi.

Usai mengenakan pakaian kebesaran Toddang Toja, keduanya lalu duduk di atas peterana berhias emas. Keduanya saling menyatukan diri dalam hening, berusaha menabur badai, menyalakan kilat, membuat guntur saling bersahutan. Air pasang dinaikkan, dan ombak diadu. Asap pedupaan mengepul menyelemuti, membuat suasana ruang istana semakin hening.

Tidak berapa lama, keduanya berangkat ke Boting Langiq diikuti semua penguasa yang ada di negeri Pérétiwi, mengendarai kabut dan mega beriring. Kepergian rombongan itu didahului kilat yang saling menyambar dengan cahayanya yang menyilaukan mata. Hanya dalam sekejap mereka sampai di Boting Langiq.

Pintu gerbang utama halilintar penutup langit dibuka. Mereka masuk ke wilayah Boting Langiq dan sampai di samping istana di Léténg Nriuq. Oleh Balalanriuq, penguasa Léténg Nriuq, mereka diminta untuk mampir sebentar. Namun mereka menolak, sebab perjalanan ke Rualletté, di istana Sao Kuta Pareppaqé, tempat bertahta Patotoqé, masih jauh.

Kedua penguasa Toddang Toja itu lantas melanjutkan perjalanan bersama rombongan mengendarai awan. Pintu batara dibuka dan mereka memasuki wilayah Mallagenni. Kebetulan sekali keduanya bertemu dengan kemanakannya, Aji Tellino, sedang keluar menyaksikan dan mengatur orang-orang sedang mengolah gunung besi. Melihat Guru ri Selleq dan Sinauq Toja bersama rombongan datang, ia segera mempersilakan mereka untuk singgah sekedar makan siang.

Dengan berat Sinauq Toja berkata:

“Bagaimana mungkin kami dapat singgah bersantap siang di istanamu, padahal masih jauh perjalanan yang akan kami tempuh. Terlebih lagi waktu yang ditetapkan oleh orang tuamu telah tiba.”