La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (7) Bab 1

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan mengendarai awan dan melangkahi mega yang beriring. Palang pintu langit menuju daerah Mallimongeng dibuka. Ketika itu, sangat kebetulan, kemanakannya, I La Sangiang, sedang berada di bawah pohon asam menyabung ayam andalannya bersama para juaknya.
Melihat kedatangan penguasa Pérétiwi, I La Sangiang, langsung saja menyembah.
“Singgahlah, Puang, bersantap siang di wilayahmu. Jika ingin berangkat ke Rualletté, nantilah kita berangkat seiring, sebab kami pun mendapat panggilan.”
Mendengar permintaan tersebut, Guru ri Selleq segera menolak, dengan alasan perjalanan mereka masih jauh. Demikian pula ketika mereka tiba di wilayah Langku-langku dan Senrijawa. Permintaan Aji Pawéwang penguasa di wilayah tersebut juga mereka ditolak dan langsung meneruskan perjalanan.
Memasuki wilayah Limpo Majang, mereka berjumpa dengan Sangiang Kapang, penguasa Limpo Majang, yang juga mengajak mereka untuk singgah. Saat itu, penguasa wilayah tersebut sedang menyebar bintang dan mengaturnya. Namun permintaan tersebut ditolak pula.
Sama halnya ketika mereka tiba di Wawo Unruq, tempat La Rumpang Mégga berkuasa. La Rumpang Mégga yang saat itu sedang keluar ke gelanggang mengumpulkan para pengawal andalannya, berjumpa dengan rombongan Guru ri Selleq. Ia serta-merta sujud menyembah.
“Kuur, datanglah semangat kahyanganmu, duhai Datu[1] yang mulia. Sudilah Datu singgahlah di wilayahmu, istirahat di istanamu, dan bersantap aneka makanan dari Rualletté yang tak dipanggang di atas api.”
Mendengar permintaan putra sulung Datu Patotoq tersebut membuat bimbang kedua penguasa Pérétiwi itu. Namun mereka untuk kesekian kalinya tak sanggup menerima permintaan dari siapa pun, kecuali segera memenuhi permintaan Datu Patotoq dan istrinya untuk segera hadir di istana Sao Kuta Pareppaqé.
“Terus terang kami merasa tak enak jika harus bersantap di wilayahmu, sedangkan kami harus segera memenuhi panggilan Batara Wira yang memperanakkanmu dan Batari Dewi yang melahirkanmu. Nanti bila kami telah tiba di istana Sao Kuta Pareppaqé, barulah akan memakan berbagai aneka makanan dari seluruh pelosok Boting Langiq,” ujar Sinauq Toja berusaha memberi alasan.
Mereka lalu bergegas meneruskan perjalanan setelah berpamitan. Tatkala memasuki wilayah Rualletté, terbukalah pintu langit yang merupakan gerbang agung untuk memasuki wilayah utama kekuasaan Datu Patotoq. Beberapa lama kemudian, dari kejauhan, nampaklah istana Sao Kuta Pareppaqé yang berdiri sempurna. Istana itu begitu megah, berdiri kokoh dan teramat anggun. Kedua penguasa Pérétiwi tersebut nampak sangat gembira menyaksikan istana tempat saudaranya bertahta. Bersama rombongan, keduanya memasuki batas wilayah pagar halilintar dengan riang dan wajah yang ceria.[1] Di Luwu sampai sekarang, gelar Datu masih dipakai sebagai gelar bagi raja Luwu (Datu Luwu). Gelar ini masih berada satu tingkat di bawah gelar Pajung. Kedua gelar ini tidak selalu diberikan bersamaan. Seorang Pajung mutlak diberi gelar sebagai Datu, akan tetapi seorang Datu tidak mutlak digelar sebagai Pajung. Secara turun temurun, pemberian gelar Pajung disematkan apabila calon Pajung tersebut telah melalui penggemblengan fisik dan mental selama tujuh malam (waktu ini diambil dari lamanya Batara Guru mengalami penderitaan yang luar biasa/kesendirian di Bumi). Tempat penggemblengan ini sejak beberapa generasi Datu Luwu dilakukan di tanah Bangkala (yang ada di depan Kantor Bupati Luwu sebelum dimekarkan). Tanah yang dijadikan tempat penobatan Pajung ini dibuat sedemikian rupa. Tempat ini dibuat tanpa membangun tempat bernaung, sehingga apabila seseorang ingin menjadi Pajung, maka ia akan kehujanan di saat hujan dan begitu pula jika panas ia akan tersengat panas matahari (seperti kondisi Batara Guru ketika pertama kali diturunkan ke dunia). Di samping itu, ia juga harus menggunakan bantal dari buah kelapa yang telah dikeluarkan kulitnya. Selama dalam latihan tersebut tidak diperkenankan menyantap makanan yang dimasak, kecuali memakan buah-buahan saja. Setelah selesai melaksanakan proses latihan tersebut, seorang Datu telah berhak diberi gelar sebagai Pajung. Tanpa melalui penggemblengan tersebut, maka seorang Datu belum berhak digelar sebagai Pajung.