La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 5
Bab V
Asal Usul Padi
SEJAK datangnya Wé Nyiliq Timoq tiga bulan lalu di Alé Luwu, suasana istana Manurungngé kian semarak. Sejak itu pula Batara Guru bertambah betah tinggal di dunia. Seperti tak ada waktu yang mereka lewatkan untuk saling membagi kasih. Berbagai warna kehidupan mereka lewati berdua dengan penuh kegembiraan.
Karena larut dalam kebahagiaan bersama Wé Nyiliq Timoq, tanpa Batara Guru sadari, sejak itu pulalah Wé Saung Nriuq tiada datang bulan. Sudah tiga bulan purnama bibit yang disemai di perutnya tumbuh. Mengetahui hal tersebut, Batara Guru sungguh merasa bersalah. Karenanya, ia segera memerintahkan untuk mengadakan upacara keselamatan kandungan.
Hanya tujuh bulan Wé Saung Nriuq mengan-dung, ia pun melahirkan seorang bayi mungil mon-tok yang diberinya nama Wé Oddang Nriuq. Namun naas baginya, sebab baru tujuh malam setelah lahirnya Wé Oddang Nriuq, ia meninggal dunia.
Suasana duka menyelimuti Alé Luwu. Semua penghuni istana, terlebih Wé Saung Nriuq dan Batara Guru merasakan duka yang amat mendalam. Goresan pilu di dalam batinnya benar-benar menyisakan perih yang teramat sangat.
Setelah melalui upacara, mayat Wé Oddang Nriuq kemudian dibawa ke dalam hutan belantara untuk dikuburkan. Berbagai prosesi upacara pun dilakukan sebelum mayat Wé Oddang Nriuq dibaringkan dalam duni. Tidak begitu lama prosesi pemakaman pun selesai. Makam peristirahatan tempat bersemayam jasad Wé Oddang Nriuq telah ditancapkan nisan. Orang-orang yang mengantar satu per satu meninggalkan pusara. Kesedihan masih saja menyelimuti Batara Guru, terlebih Wé Saung Nriuq. Kepergian Wé Oddang Nriuq mencabik-cabik hatinya.
***
Tiga malam sudah berlalu setelah dikuburkannya Wé Oddang Nriuq. Sepanjang malam itu pula Manurungngé kerap dicekam rasa rindu pada anaknya. Rasa bersalah membuatnya kian tersiksa. Karena tak mampu lagi menahan perasaannya, ia pun bermaksud mengunjungi makam serpihan hatinya.
Di pagi yang cerah, Batara Guru bersiap-siap meninggalkan istana menuju pusara anaknya. Tanpa sepengetahuan istrinya Batara Guru berangkat menziarahi pusara Wé Oddang Nriuq. Saat berdiri tidak jauh dari kuburan Wé Oddang Nriuq, didapatinya di atas pusara itu tumbuh berjejer tanaman yang tak dikenalnya; ada yang berwarna merah, kuning, putih, hitam dan ada pula yang berwarna biru. Tiada lembah yang luas, perbukitan yang panjang dan gunung yang tinggi tak dipenuhinya. Beraneka warna tanaman tersebut bergoyang tertiup angin.
Tak mampu berkata-kata, Batara Guru terus saja memandang lepas jauh ke hamparan tanaman yang baru dilihatnya di dunia. Tegak bulu roma Manurungngé menyaksikan keanehan yang dialaminya. Gemetar seluruh tubuhnya melihat hamparan tanaman tersebut yang beraneka warna.
Karena tak mampu mencerna semua kejadian tersebut, Batara Guru menjadi gelisah. Ia lantas berkeinginan menanyakan semua yang terjadi di depan matanya pada Patotoqé. Usai bertafakur sejenak meraih keheningan, Batara Guru lantas bergegas menggapai pelangi, dan dengan cepat naik ke Boting Langiq, memasuki perkampungan di Rualletté.
Melihat kedatangan Batara Guru, terkejutlah ayam To Palanroé yang berada dalam kurungan. Menjadi ribut pula To Sunra, Peddengngengngé, dan Pérésolaé. I La Sualang juga segera menyerbu, tak membiarkannya memasuki pagar halilintar.
Melihat perlakuan terhadapnya, teriris hati Manurungngé. Air matanya menggedor-gedor ingin tumpah. Ia betul-betul bersedih menyaksikan dirinya tak dikenali lagi oleh penghuni langit. Dengan suara perlahan ia berkata;
“Sudah tak waraskah kalian, I La Sualang, Peddengngengngé, To Sunraé, Pérésolaé, To Alebboreng, dan Pulakalié, sehingga tak mengenal lagi orang yang ditetapkan To Palanroé sebagai tunas di bumi?”