La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (5) Bab 7
Saking gembiranya, Manurungngé dan permai-surinya memberikan ratusan bissu, datu, dan hamba dewata kepada Puang Matoa. Manurungngé sendiri yang langsung menyuguhkan sirih yang telah ditumbuk dari Sawang Kuttu kepada Wé Nyiliq Timoq. Usai menyirih, Puang Matoa lantas mengurut perut perempuan Yang Muncul di Busa Émpong itu, agar tunas yang ditanam di rahimnya dapat tumbuh dengan baik.
Setelah tujuh hari datangnya Puang Matoa, tiada haidlah Wé Nyiliq Timoq. Perasaannya pun selalu tak enak. Berbagai makanan selalu diinginkannya, meski tak juga dimakannya. Melihat tingkah aneh permaisurinya, ia pun mafhum bahwa istrinya telah hamil. Manurungngé mendekati perempuan belaian hatinya itu. Didekapnya pinggang isi bilik yang disayanginya itu seraya berkata:
“Gerangan apalagi yang engkau inginkan dinda Wé Timoq. Jenis makanan apa yang mengundang seleramu? Sebutkanlah buah-buahan atau apa saja yang engkau inginkan, biarlah aku sendiri yang pergi berlayar mencarinya.”
“Tak satupun, Datu Manurung, buah-buahan yang tumbuh di Luwu dan di Ware bahkan di Kawaq ini yang kuinginkan dan kuidam-idamkan.”
“Sungguhpun begitu, aku hanya ingin engkau menyebutkannya. Biarlah aku sendiri yang akan mencarinya,” pinta Batara Guru seraya lebih mempererat pelukannya.
“Mengapa engkau sendiri yang pergi mencarinya? Bukankah begitu banyak juak yang dapat melaku-kannya. Janganlah membuat hari-hariku bertambah tak tenang.”
La Togeq Langiq terhenyak. Ia terdiam. Cukup lama. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu tatapan-nya jatuh pada wajah istrinya. Kepalanya sedikit menggeleng, memberikan isyarat untuk diterjemah-kan. Setengah tertunduk, Wé Datu Tompoq kemudian berucap agak berat:
“Yang kuinginkan, duhai Datu Manurung, untuk kumasukkan dalam perutku adalah padi angsana dari Widéq Langiq, buah buni yang gugur dari Singkiq Wéro, langsat Makassar dari Wawo Langiq, buah kecapi dari Widéq Unruq, ketapang Jawa yang berjejer di Toddang Soloq, jambu bol dari Lateng Nriuq, alakkang radi yang tumbuh di pinggir langit dan pauh janggi yang berakar di tengah laut. Aku ingin juga mencicipi sedapnya ikan besar yang ada di Uluwongeng, hati ngengat dari Uriq Liu, limpa nyamuk dari Toddang Toja dan rusa galak yang berkeliaran di Boting Langiq. Selain itu, aku ingin melihat mangga madu yang banyak tumbuh di Marapettang dan menyaksikan debur air bah yang melimpah di permukaan Pérétiwi. Nangka harum dari Tompoq Tikkaq dan bunga teratai yang berakar di Boting Langiq yang menjalar di Toddang Toja dan juluran daunnya sampai di Wawo Émpong, yang dilihat oleh nelayan di laut, menggoda pula keinginanku untuk merasakannya.”
Mendengar permintaan perempuan isi biliknya, Batara Guru bergegas memerintahkan lelaki Luwu, orang Abang, untuk melepas ikat di kaki La Dunrung Séreng agar dapat mengarungi Alé Lino mencari buah-buahan dan segala yang diidamkan Wé Datu Tompoq. Dalam waktu singkat, La Dunrung Séreng telah berada dan pindah bertengger di hadapan Manurungngé.
Tanpa banyak basa-basi Batara Guru segera memerintahkan untuk mencari buah-buahan dan semua yang diinginkan permaisurinya. Demikian pula dengan para pembantunya yang lain.
“Kuperintahkan padamu, La Dunrung Séreng untuk terbang melayari buah-buahan yang diidamkan Puangmu. Begitu pula engkau burung, Alo Biraja Mancapai, dan engkau La Weda Ijeq dari Selayar. Terbanglah mendahului angin, menghem-pas udara, dan membelakangi bayu. Apabila engkau didahului oleh bayu, berada di belakang udara dan angin, maka akan kupatahkan kaki dan kedua sayapmu, kupotong paruhmu, dan kucincang engkau melebihi halusnya tepung.”
Hanya sesaat setelah selesai ucapan Manurung-ngé, terbanglah La Dunrung Séreng, bagaikan angin topan menderu-deru. Bertebarangan pulalah burung-burung yang beraneka macam mencari semua permintaan tuannya.
***