Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (6) Bab 7

 

 Tiga bulan sudah rahim Wé Nyiliq Timoq ditinggali segumpal darah calon tunas di Alé Luwu. Sejak itu pula perasaannya gelisah dan tak enak, meski makanan dan semua yang diinginkan telah terhidang di hadapannya. Bahkan air sejuk yang melimpah pun telah datang menggenangi balairung-nya. Telah dipersembahkan pula ikan tangka, welluq lallumi dan kampuleng. Di sisi peterana tempat berbaring Wé Datu Timoq tak henti-hentinya ber-datangan berbagai jenis makanan.

“Kemarilah adinda Wé Timoq. Lihatlah air sejuk yang melimpah itu,” ajak Batara Guru sembari mengarahkan telunjuknya ke luar, berusaha menghibur kekasih hatinya.

Buru-buru Wé Nyiliq Timoq bangkit. Tatkala menyaksikan air sejuk melimpah dan melihat saling berpapasan layar sutera yang dikembangkan La Tau Buleng dan La Tau Pancéq di pekarangan istana, gembiralah hatinya. Keinginannya untuk mandi di air sejuk itu seketika saja muncul. Setelah menyampaikan keinginannya dan mendapat izin, Wé Nyiliq Timoq segera beranjak. Tenritalunruq sendiri yang memasangkan sarung indah berwarna biru langit ke tubuh perempuan pewaris tahta Toddang Toja itu.

Alangkah gembiranya Wé Nyiliq Timoq men-ceburkan tubuhnya. Bermain-main ia kesana kemari, berenang menyibak riak, meluncur menumpahkan kegembiraan. Selesai mandi, Wé Lélé Ellung bergegas datang memasangkan sarung bersujikan cahaya petir, yang berasal dari Pérétiwi, yang muncul bersamanya. Wé Nyiliq Timoq kemudian mengeringkan badan di atas kursi emas. Dibersih-kannya air mandi yang masih melekat pada beberapa bagian tubuhnya. Rambutnya yang panjang menjuntai, diurai di atas talam, dihembus asap kemenyan yang berasal puluhan pedupaan yang mengelilinginya. Laksana kabut mengepul, asap dupa yang menggerayangi tubuh Wé Datu Tompoq. 

Setelah tubuhnya kering dan pakaian kebesaran-nya telah dikenakan, ia kemudian pindah duduk di balairung, dikelilingi anak raja dari Toddang Toja, dan bangsawan tinggi dari Rualletté. Kipas besar berhias emas dari Boting Langiq mulai meng-hembuskan angin. Demikian pula kipas kecil keemasan dari Senrijawa.

Sungguh senangnya hati Wé Nyiliq Timoq menyaksikan beraneka ragam makanan yang terhidang di hadapannya. Disajikan pula berbagai jenis buah-buahan yang diidamkannya. Satu demi satu dimakannya makanan dan buah-buahan itu penuh gairah.

 ***

 Tanpa terasa usia kandungan Wé Nyiliq Timoq telah masuk lima purnama. Karenanya, mulailah ditancapkan patok-patok tempat mengikat kerbau camara yang akan dikurbankan sebagai persembah-an tolak bala dan penyambut kehadiran putra mahkota yang sebentar lagi akan lahir. Para dukun dipanggil ke istana agar segera menyiapkan kelengkapan upacara kahyangan Wé Datu Tompoq.

Tidak berapa lama, datanglah Puang Matoa di istana. Wé Saung Nriuq dan Wé Lélé Ellung segera memerintahkan untuk melengkapi dan secepatnya menyiapkan upacara kedatuan Wé Nyiliq Timoq. Seperti ombak menderu perintahnya memecah suasana. Peterana yang diduduki Wé Datu Tompoq kembali dihiasi. Berbagai pernak-pernik menghiasi peterana agung itu. Disempurnakan pula dengan kehadiran tata rias orang Sappé Ileq. Dilapisi pula dengan hiasan kedewaan orang Widéq Unruq bersama ribuan kandil yang menerangi.

Tidak terlalu lama menanti, rampunglah semua yang diperintahkan Wé Saung Nriuq dan Wé Lélé Ellung. Gendang besar ditabuh beriring dengan bunyi tara yang terus mendengung. Tak henti-hentinya menderu bunyi alémpang, bersama ribuan tumpuq kadidi dan tettillaguni yang seolah saling bersahutan. Anak beccing, caleppa keemasan dan mongeng-mongeng yang ratusan jumlahnya juga dibunyikan menambah ramai suasana. Tak ketinggalan ratusan suling yang berbalut emas, ditiup. Dibunyikan pula ribuan gamaru berukir yang diselipi dentuman gong, mengiringi tarian Melayu. Tak henti-hentinya para penari meliukkan tubuhnya.

Saking ramainya upacara kedatuan tersebut, membuat setiap orang tak saling mendengar ucapan. Untuk menambah keramaian, disulutlah senjata sebagai pagar negeri. Suaranya menggelegar bagai guntur memekakkan telinga.

Dalam suasana tersebut, dibaringkanlah Wé Nyiliq Timoq di atas peterana bertabur hiasan emas. Tubuhnya ditudungi kain sutera biru langit berbordir benang emas. Kipas  besar dari Boting Langiq yang saling berseliweran menghembuskan angin segar. Dilantunkan pula doa-doa penyeru semangat jiwa kekahyangan untuk menenangkan batinnya.

Puang ri Luwu dan Puang ri Ware kemudian saling berhadapan, memegang dan mengurut perut Wé Nyiliq Timoq. Di sekelilingnya berbagai alat upacara dari Sawang Kuttu terhampar. Puang Matoa sendiri yang menaburi bertih emas dan mengumandangkan doa-doa penyeru semangat, membubung tinggi ke langit. Bedil kembali disulut tiada henti-hentinya sebagai tanda akan turunnya raja dewa ke dunia.

Disempurnakanlah upacara keselamatan kandungan Wé Nyiliq Timoq. Suasana penuh kegembiraan terus menghiasi wajah-wajah penghuni istana. Penuh kehati-hatian Wé Nyiliq Timoq bangun. Puang Matoa mengambil air, lalu memerciki air suci dengan ramuan doa-doa. Usai diperciki dengan air suci, Wé Nyiliq Timoq dimandikan dengan air mayang dari Senrijawa. Selesai  mandi, Wé Nyiliq Timoq mengeringkan badan, lalu dipasangi kain berlapis warna kemilau dari Boting Langiq bertekat taburan mayang petir.

Terasa segar perasaan Wé Nyiliq Timoq. Ia beranjak dan duduk di peterana emas berdamping-an dengan suaminya. Batara Guru menyuguhinya sirih.

Menjelang matahari terbenam, ratusan pelita di ruang istana dinyalakan. Demikian pula di bilik Manurungngé. Habis makan malam, Batara Guru dan Wé Nyiliq Timoq  beranjak ke peraduan. Keduanya sungguh-sungguh dilanda kasmaran. Di dalam biliknya, di balik kelambu, dalam satu sarung, tak henti-hentinya penguasa Alé Luwu itu menyabung tanpa memasang taji.