Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (4) Bab 7

 

 Begitu sigap Puang ri Luwu dan Puang ri Ware memerintahkan untuk mengatur guci tujuh macam pada turus agung istana. Tikar yang dianyam dengan benang emas turut dihamparkan. Di atasnya dilapisi lagi kain indah berhias emas. Tujuh susun tikar lainnya juga dibentangkan dengan dilapisi kain gemerlap dari Saullangiq dan dilingkari pula tujuh lapis tirai kemilau yang menambah kemegahan perhelatan di istana manurung.

Melihat persiapan mulai rampung, Wé Saung Nriuq buru-buru menyuruh menghiasi ratusan kerbau sebagai persembahan kepada peterana emas, tempat bersanding Manurungngé dan permaisuri-nya. Terdapat tiga ratus buah guci kemilau, sekian pula banyaknya tempayan yang dijejer. Semuanya dilapisi dengan kain indah dari Kelling, ditindih dengan gelang berpilin yang berhias emas murni dari Toddang Toja. Dibungkus pula dengan kain surullagenni dari Sawang Kutu.

Rampung sudah semua persiapan upacara kedatuan Wé Nyiliq Timoq. Menggemalah suara para penyeru jiwa semangat kekahyangan Manurungngé. Asap pedupaan Puang Matoa mulai mengepul mengembara di seantero istana dan melayang keluar menggapai-gapai langit. Puang Matoa dan para bissu lainnya mulai membacakan doa, seraya menadahkan tangan ke Boting Langiq. Dinaungilah payung keemasan penguasa negeri yang memohon berkah kepada dewata bagi tunas yang akan ditempatkan di rahim Wé Nyiliq Timoq.

 ***

 Keesokan harinya, meski matahari baru saja terbit dan diharapkan akan bersinar terang, akan tetapi cahayanya ditelungkupkan. Di langit, kilat menyambar-nyambar, guntur bersahutan, berkobar-kobar api dewata manurung di bubungan istana kemilau, dan beriringan pula badai.

Suasana pagi yang mencekam membuat kepanikan di istana Batara Guru. Tak henti-hentinya Puang ri Laé-Laé2 melakukan upacara memohon berkah. Hingga... Puang Matoa tidak sadarkan diri. Tujuh hari tujuh malam lamanya Puang Matoa tidur. Dalam tidurnya ia melayang, mengembara, menjelajahi Boting Langiq dan Pérétiwi, memohonkan keturunan bagi Batara Guru dan Wé Nyiliq Timoq.

 ***

 Saat matahari baru saja terbit, pada hari ke delapan pengembaraan Puang ri Laé-Laé, ia pun terbangun dari perjalanan batinnya. Usai membasuh muka pada mangkuk putih dan bercermin, ia pun disuguhi sirih pada talam emas murni yang dilipat orang dari Senrijawa.

Usai menyirih, Puang Matoa bangkit dan langsung berjalan menghadap Manurungngé. Di depan Manurungngé, ia sujud menyembah, lalu duduk disuguhi sirih.

Tak sabar menunggu berita dari Puang Matoa, selesai menyirih, hampir bersamaan Manurungngé dan Wé Nyiliq Timoq bertanya:

“Ceritakanlah, Puang Matoa, gerangan apakah yang engkau dapat dalam tidurmu?”

“Ampunkan hamba. Hanya setipis kulit bawang kerongkongan ini, semoga tidak tergelincir dalam kekhilafan. Dalam tidur, hamba melayang ke Boting Langiq, menyusuri Pérétiwi. Di sana hamba meratap memohonkan pada dewata agar Puangku diberikan putra mahkota yang dijelmakan dalam rahim Wé Nyiliq Timoq. Syukurlah, rupanya sudah dekat masanya, tiada haid Puang Wé Nyiliq Timoq. Ia nanti akan melahirkan tunas pengganti, seorang lelaki, Opu penyabung. Dan dialah yang akan ditudungi payung yang akan menyatukan sekolong langit, sepetala bumi.”

Sungguh bahagia perasaan keduanya mendengar perkataan Puang Matoa. Bak mencicipi madu rasa-nya di dalam hati keduanya.