La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 8
Bab VIII
Batara Lattuq Dilahirkan
ANGIN datang menghampar, mengantar siang, lalu malam. Burung-burung beterbangan merentas langit pagi, menggiring bau malam yang basah. Hari terus berganti membimbing kepenatan jiwa dalam penantian. Seiring dengan itu, bertambah besar pula perut Wé Nyiliq Timoq. Baru saja bulan tua berlalu, datang pula bulan baru. Saat usia kandungannya memasuki bulan kelima, dipanggilkanlah dukun dan Puang Matoa untuk mengurut dan membacakan doa keselamatan.
Berbagai keramaian pun digelar di istana manu-rung. Usai upacara kekahyangan bagi keselamatan kandungan Wé Nyiliq Timoq dilakukan, gembiralah hati Batara Guru. Ia lantas membagi-bagikan ber-bagai hadiah kepada para dukun yang membantu pelaksanaan upacara tersebut.
“Ambillah oleh kalian biti perwara dan hamba dewata, masing-masing sepuluh setiap orang. Akan kuberikan pula pada kalian rumah yang panjang masing-masing sebuah. Mudah-mudahan panjang-lah umur Wé Nyiliq Timoq, dan lahir pula dengan selamat bayi yang akan menjadi penggantiku,” seru La Togeq Langiq.
***
Tujuh bulan berlalu sesudah upacara selamatan kandungan Wé Nyiliq Timoq, tepat tengah malam, Wé Datu Tompoq tiba-tiba terjaga akibat sakit di perutnya yang dirasakannya sangat menyiksa. Hanya air matanya yang bercucuran karena tak dapat menahan sakit.
Mendengar Wé Datu Tompoq mengeluh dan terisak, Manurungngé bergegas bangkit dan berdiri meraih kedua lengan perempuan itu dan meling-karkannya di tubuhnya.
“Tenangkan hatimu adinda Wé Tompoq. Adakah yang telah mengganggu tidurmu, hingga membuatmu terbangun dan merintih mengucurkan air mata? Tak kuasa aku melihat kepedihan menerjangmu.” Batara Guru berkata sembari mengelus-elus rambut istrinya, lalu turun ke perut. Ia merasakan ada gerakan yang teramat riang dari dalam perut istrinya. Meski Wé Nyiliq Timoq tak menyambut perkataannya sepatah kata pun, tapi Batara Guru mengetahui apa gerangan yang terjadi pada perempuan belahan jiwanya itu.
Tatkala Wé Nyiliq Timoq mulai tenang, Batara Guru segera membaringkan kembali istrinya, lalu setengah berteriak ia memanggil:
“Masih kalian, Wé Saung Nriuq, Wé Lélé Ellung, Apung Talaga? Bila terjaga bangunlah dan segera memasang lampu, menyalakan lilin. Sudah gelisah rupanya bayi yang ada di dalam perut Wé Datu Tompoq.”
Mendengar permintaan Manurungngé, serentak mereka bangun beserta semua penghuni istana. Apung Talaga bersama ibu La Temmallureng segera meminta untuk memasang lampu, menyalakan pelita di semua sudut istana dan di balairung Manurungngé.
Terburu-buru pula Puang Matoa ri Laé-Laé bangkit, memasang lanrang patola, gelang emas, lailaiseng, tempat berpegang sang ratu untuk mengejan. Manurungngé sendiri yang menyuruh memasang walasuji, dan tanah tempat menetesnya darah bayi. Segera pula disiapkan kain Melayu dari Sappé Ileq sebagai pembalut. Dijejerkan pula tempayan Kelling yang akan ditetesi darah bayi.
Di sekelilingnya, tujuh puluh biti perwara dari Toddang Toja bersiap-siap melaksanakan perintah. Semuanya memakai gelang emas enam puluh lima biji sebelah-menyebelah, yang disekat dengan gelang besar. Di tangan masing-masing mengayun kipas besar bertekat emas dari Boting Langiq dan kipas kecil berhias emas dari Senrijawa. Mereka tak membiarkan sedikitpun tanah tempat meneteskan darah sang ratu dihinggapi lalat. Dan pada setiap tiang istana manurung diikatkan kerbau camara bertanduk emas. Gendang La Wéwang Langiq dan gendang emas manurung mulai ditabuh. Dibunyikan I La Wéruneq, suling emas yang muncul bersama Wé Nyiliq Timoq. Didengungkan pula La Wéro Ileq, gong emas yang diturunkan bersama Batara Guru. Hanya sekali dipukul, maka tujuh kali dengungnya menelusuri langit, menggema di Pérétiwi. Suaranya mendengung hingga terdengar pula oleh seluruh penghuni kolong langit, permukaan bumi. Tak ketinggalan ditabuh pula gendang bissu Wé Nyiliq Timoq, diiringi penyeru semangat dan hembusan angin kipas emas orang Toddang Toja yang saling beradu.