Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (4) Bab 8

 

 “Kuur semangatmu, adinda Wé Timoq. Jangan-lah berkata demikian. Semoga tak melayang jiwa kekahyanganmu. Panjang umurmu Wé Datu Tompoq. To Palanroé tak akan terus membiarkanmu mengalami penderitaan ini.”

Tangan Batara Guru dengan lembut mengelus perut istrinya:

“Keluarlah duhai calon penguasa Alé Lino untuk segera mewarisi kelewang emas pusaka dari Rualletté. Jangan terus mendekap dalam perut ibumu yang membuatnya tersiksa oleh rasa sakit yang tak terhingga.”

Merasa perutnya kembali sakit, Wé Nyiliq Timoq dibantu oleh Batara Guru, kembali mengangkat lengannya dan menggenggam kuat lanrang potto, berpegangan pada lailaiseng dan koiq sawédi. Ia juga berusaha untuk tetap bertumpu pada papan kemilau, dan kembali mengejan sambil bersandar pada ibu susunya. Namun isi perutnya masih juga tak mau keluar. Sungguh pun para pembesar dari Abang, para bangsawan tinggi yang bersamaan turun dengan Manurungngé, dan para turunan Sangiang yang bersamaan muncul dengan Wé Nyiliq Timoq, telah berganti-ganti berdiri dan mengucap-kan nazar, tapi janin dalam perut Wé Nyiliq Timoq seperti tak ingin meninggalkan dunianya.

Tak habis pikir Puang ri Laé-Laé melihat kejadian itu. Hatinya resah. Ia seperti kehilangan akan untuk mencari cara lain agar bayi itu dapat lahir. Demikian pula dengan Puang ri Luwu dan Puang ri Ware. Mereka hanya mampu duduk terdiam. Berdiri bulu roma para dukun itu memikirkan peristiwa yang terjadi di depan mata mereka.

Sementara itu, kegetiran terus melanda batin Manurungngé. Ia benar-benar tak tega melihat istrinya mengalami penderitaan yang maha berat itu. Air matanya meleleh, bibirnya menggigil:

“Mengejanlah duhai adinda. Akan kuusahakan memberikan persembahan yang banyak biar menguap penderitaanmu. Hanya engkaulah per-maisuriku yang membuatku kian bergairah hidup di dunia ini. Tidak ada duamu yang menguasai kolong langit dan sepetala bumi ini.”

Ditariknya nafas dalam-dalam. Kegetiran kian menggerogoti dirinya:

“Dinda, andaikan engkau dapat diganti oleh orang lain, maka semua orang Abang akan datang menggantimu mengejan. Namun hanya engkau sendirilah, adinda yang harus berusaha mengejan, sebab hanya engkaulah juga ibu dari anak yang akan menjadi penggantiku kelak.”

Sudah lima belas malam lamanya Wé Datu Tompoq mengejan, bergantung pada lanrang patola, dan koiq sawédi, tapi belum juga bergerak isi perutnya.

Hingga... pada waktu tengah hari, saat matahari benar-benar berdiri tepat di atas kepala, serta merta kegelapan yang begitu pekat datang menyergap. Kilat datang saling menyabung dan gelegar guntur yang bersahut-sahutan menggetarkan bumi dan seluruh penghuninya. Di dekat Wé Nyiliq Timoq tiba-tiba saja tegak pelangi tujuh macam. Tanpa disadari saat itulah, bayi yang berada dalam rahim Wé Nyiliq Timoq meluncur di atas tikar permadani.

Melihat hal itu, gembiralah hati semua orang yang telah beberapa hari dirundung perasaan was-was. Kegembiraan itu terlebih dirasakan oleh Batara Guru. Ia cepat-cepat menoleh sembari memerintah-kan untuk memukul gendang dengan irama perang sebagai pertanda raja penyabung, raja yang berani, penakluk sekolong langit telah datang menjelma di istana Sao Denra Manurung.

Hanya sebentar, suara gendang emas manurung pun ditabuh menyatu dengan irama gempita gong emas, dan padali kati. Disulut pula senjata pemagar negeri, yang bunyinya laksana guntur yang meng-gelegar mengguncang negeri. Seolah akan runtuh Alé Luwu dan hendak terbang istana keemasan manurung oleh suara upacara kedewaan itu.