Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (2) Bab 5

 

 Mengetahui Batara Guru yang datang, gemetarlah seluruh tubuh mereka. Tegak pula bulu roma I La Sualang. Tergesa-gesa mereka surut berjongkok di pekarangan seraya memohon ampun.

Mendengar keributan tersebut, To Palanroé segera memerintahkan anak datu dari Abang untuk melihat, gerangan apa yang sedang terjadi. Tanpa menunggu lagi, anak datu dari Abang yang dijadikan biti perwara di istana Sao Kuta Pareppaqé membuka jendela, lalu menjenguk ke luar. Dilihatnya Batara Guru sedang berdiri dikelilingi oleh para penjaga pagar petir istana.

Segera saja anak datu dari Abang itu bersujud dan melaporkan apa yang dilihatnya.

“Kalau begitu, bangkitlah kalian menjemput anakku dan mengiringinya naik ke istana,” titah Patotoqé. Para anak datu dari Abang itu pun serentak beranjak dan berjalan menuju pintu depan istana, turun menemui Batara Guru.

Sujud menyembah tiga kali di depan Batara Guru, lalu berjalan beriringan dengan Manurungngé menuju tangga petir. Dari atas istana, bertih emas berhamburan bagai rinai hujan dari langit. Perlahan kaki Batara Guru menjejak anak tangga, berpegang pada susuran, menyusuri lantai, melangkahi ambang kilat dan terus menuju ruangan tengah istana.

Sepanjang jalan anak datu dari Abang yang dijadikan biti perwara di Boting Langiq berseru:

“Kuur semangat kedatuanmu, Puang La Togeq Langiq. Semoga tetaplah jiwa kekahyangan-mu. Masuklah ke tengah balairung yang telah lama kau tinggalkan.”

Manurungngé terus saja menelusuri lantai papan dari petir, melalui dua ratus lima puluh petak istana Sao Kuta. Tidak berapa lama, sampailah ia melangkahi sekat guntur, menyeruakkan pintu utama halilintar. Didapatinya keduanya orang tuanya sedang duduk berdampingan di atas peterana kilat.

“Masuklah anakku, La Togeq Langiq,” pinta Datu Palingéq segera setelah melihat kedatangan anak kesayangan yang telah lama dirindukannya.

Sujud menyembah tiga kali Manurungngé, La Togeq Langiq kemudian naik dan duduk di hadapan orang tuanya. Mutia Unruq segera membuka cerana, lalu menyirih menenangkan perasaannya yang gundah oleh rasa rindu. Disodorkannya pula kepada Batara Guru.

Belum sempat berkata-kata, Patotoqé langsung melayangkan pertanyaan:

“Gerangan apakah yang membuatmu datang ke Boting Langiq, mengasapi Boting Langiq dengan bau manusia dan menghilangkan kesakralan negeri Rualletté? Bukankah telah habis semua diturunkan pusakamu ke bumi. Janganlah engkau bolak-balik ke Boting Langiq yang hanya akan mengurangi kekeramatan negeri di Rualletté. Ingat! Engkau telah menjadi manusia, sedang aku dewata.”

Menyembah sembari berkata Batara Guru:

“Benar sekali ucapan Puang. Manusialah daku dan Puang adalah dewata. Hamba naik ke Boting Langiq, mengasapi Senrijawa dan mengurangi kekeramatan Rualletté, karena sesuatu yang benar-benar mengganjal perasaanku. Anak yang lahir dari rahim Wé Saung Nriuq dan meninggal setelah tujuh malam menghirup udara di bumi, di atas pusaranya terjadi keanehan. Makam tempatnya bersemayam telah ditumbuhi tanaman yang tak pernah kulihat selama di bumi.”

Sedikit terkejut keduanya mendengar ucapan Batara Guru. Namun sesat kemudian….

“Janganlah risau. Anakmu telah menjelma menjadi Padi yang disebut Sangiang Serri. Turunlah kembali ke bumi, ambillah Sangiang Serri dan bawalah ke istana. Tetapi janganlah sekali-kali dulu engkau memakannya. Biarlah gandum dan jagung untuk sementara yang melewati kerongkonganmu, yang akan menghidupimu selama di dunia,” jelas Patotoqé yang diangguki oleh Datu Palingéq.

Mendengar penjelasan Patotoqé, La Togeq Langiq mengangguk-angguk. Meski kejadian itu masih menyisakan tanda tanya, namun kegelisahannya telah terjawab.

“Baiklah. Jika begitu, saya mohon diri kembali ke bumi,” ucapnya seraya menyembah.

Tak dapat menahan sedih, Datu Palingéq begitu berat melepaskan kepergian anaknya. Demikian Patotoqé, meski wajahnya tetap memancarkan kewibawaan.

“Sangiang Mpajung, bersiap-siaplah untuk mengantar La Togeq Langiq turun ke Alé Lino. Gantunglah pelangi di sudut langit, agar Batara Guru tidak lagi bolak-balik naik ke Boting Langiq,” perintah Patotoqé yang langsung dilaksanakan Sangiang Mpajung.

Tak terasa, tubuh Batara Guru telah turun ke bumi. Didapatinya onggokan padi bertambah subur dan tumbuh di mana-mana, meramaikan Alé Lino dengan warnanya yang indah. Tak habis pikir, Manurungngé langsung saja bergegas dan naik ke istana.