Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 6

 

 Bab VI

Selir-Selir Batara Guru Melahirkan

 

 persemaian selaksa hasrat

meninggalkan benih-benih tafakur dalam rahim

sebuah negeri indah, melepas senja dan aroma langit

menggapai-gapai di permukaan sunyi

 

TUJUH malam setelah kembalinya Batara Guru dari Boting Langiq, Wé Lélé Ellung pun tidak datang bulan. Ia selalu gelisah dan bertingkah aneh. Bermacam-macam permintaannya dan sulit ditemukan. Namun dengan sabar Batara Guru berusaha memenuhi keinginan istrinya itu, hingga usia kandungannya telah berjalan lima bulan.

Meski demikian, tanda-tanda bahwa ia akan melahirkan mulai nampak. Rasa sakit yang teramat sangat yang dirasakan Wé Lélé Ellung membuatnya kerap mengeluh. Karenanya dipanggillah dukun kerajaan untuk melaksanakan upacara kahyangan Wé Lélé Ellung bagi keselamatan sebelum persalinan dilaksanakan. Berbagai peralatan upacara selamatan disiapkan dengan cermat. Dihamparkan talam dari Sawang Kuttu. Perlahan Wé Lélé Ellung berbaring di atas kain dan dikelilingi puluhan tempayan upacara yang semuanya ditudungi surullagenni dari Limpo Bonga. Di pinggangnya dibelitkan kain sutera bersuji bulan. Hati-hati dukun kerajaan itu mengusap-usap dan mengurut perut Wé Lélé Ellung. Seraya mengusap, bibirnya berkomat-kamit. Beberapa saat kemudian, Wé Lélé Ellung bangun dengan tubuh yang kembali segar. 

Tiga purnama sesudah pengusapan kandungan itu, pada suatu malam yang tua,  perut Wé Lélé Ellung terasa sakit sekali. Cepat-cepat ia bangun, berpegang erat pada lailaiseng (lanrang patola), gelang orang yang anggun. Melihat keadaan istrinya, Batara Guru pun panik. Suaranya membahana, berteriak memanggil dukun kerajaan. Namun belum begitu baik posisi dukun, meluncurlah seonggok tubuh mungil di atas tikar bersulam emas. Cepat-cepat dukun tersebut meraih, lalu membersihkannya.

“Laki-lakikah yang lahir dari rahim Wé Lélé Ellung?” tanya Manurungngé yang sedari tadi geli-sah karena tak sabar menunggu kelahiran anaknya.

“Benar Puang, lelaki penyabung yang dilahirkan Wé Lélé Ellung,” jawab sang dukun sembari sujud menyembah.

Alangkah gembira Batara Guru mendengar ucapan sang dukun.

“Semoga keselamatan menaungi kehidupannya. Ia kuberi nama La Pangoriseng, yang mewarisi Takkébiro, mengatasnamakan Kawu-Kawu.”

 ***

 Tiga bulan sesudah lahirnya La Pangoriseng, tiada haid pula Wé Saung Nriuq. Dan di saat usia kandungannya memasuki bulan ke lima, dipanggangkanlah ratusan ekor kerbau camara. Dipanggillah pula dukun dengan memberikan ratusan lembar kain agar melakukan upacara keselamatan bagi kandungan Wé Saung Nriuq.

Dengan tergesa-gesa, dukun itu datang dan langsung duduk di dekat Wé Saung Nriuq seraya membentangkan tikar yang dilapisi dengan kain dari Kelling. Sejenak kemudian berbaringlah Wé Saung Nriuq, diapit oleh api yang menyala. Dibelitkan pula perutnya dengan kain surullagenni. Setelah semua persiapan telah rampung, dengan lembut si dukun mengusap-usap dan mengurut perut Wé Saung Nriuq, hingga ia merasa tenang dengan tubuh yang kembali bugar.