Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 7

 

 Bab VII

Kehamilan Permaisuri Agung

 

 selepas musim penghujan,

angin sibuk menarik-narik pelepah kegelisahan

memanen kesedihan yang mulai berkarat

dalam mimpi yang kian gersang

 

tanah ménroja, sebuah negeri batin meramu sukma

meneteskan bidadari berbunga mekar

dalam tungku kehidupan yang hiruk pikuk

menyabung keinginan, simbol keperkasaan seorang lelaki

keturunan Boting Langiq

 

SEMENJAK dilaksanakannya upacara pijak tanah ménroja bagi La Tenrioddang bersaudara, mereka pun tidak lagi merasa tenang tinggal di istana. Terasa aneh bila mereka berada di rumah. Setiap hari hanya gelanggang sabunganlah yang mereka ingin kunjungi bersama para juak, mengadu ayam peliharaan andalan masing-masing. Gelanggang yang berada di bawa pohon asam itu tak pernah berhenti dari hiruk-pikuk. Hanya malam yang pekatlah yang membuatnya kembali damai.

Tatkala sorak-sorai para penyabung kembali meramaikan gelanggang sabungan di suatu hati yang cerah, Manurungngé membuka jendela keemasan lalu menjenguk melepas pandang ke bawah pohon asam. Cukup lama ia mengamat-amati anak-anaknya yang bermain. Mereka berganti-ganti maju dan melepas ayam di gelang-gang sabungan. Bunyi kepak sayap ayam-ayam yang bertarung membuat mereka bertambah girang.

Batara Guru hanya tersenyum melihat tingkah anak-anaknya yang cekikikan dan berteriak saat ayam sabungan mereka bertarung. Sungguhpun kegembiraan melingkupinya saat melihat anak-anaknya bermain, namun guratan kesedihan di wajahnya masih juga nampak. Ia lantas masuk dan menemui, Wé Datu Tompoq1, permaisurinya.

Melihat wajah kusut suaminya, Wé Datu Tompoq menangkap ada sesuatu yang telah menggelisahkan penguasa Alé Luwu itu. “Ada apa kanda La Togeq. Gerangan apakah yang terjadi, hingga garis-garis kesedihan teramat jelas menggurat di wajahmu,” tanya Wé Tompoq agak berat dan berhati-hati.

“Adinda Wé Tompoq, terus terang, meski anak-anakku telah banyak yang lahir, namun duka di dalam hatiku masih saja mengganjal. Sudah sekian lama dinda berada di Kawaq, akan tetapi belum juga engkau memberiku keturunan, sedangkan aku tak mau kelak yang akan menggantikanku adalah bangsawan campuran. Aku ingin bangsawan murni yang akan kelak memimpin kerajaan ini.”

Mendengar perkataan suaminya, menjadi kacaulah hati Wé Datu Tompoq. Seperti diiris-iris rasanya. Perih. Hanya air mata yang mampu mewakili kepedihan hatinya. Tersendat-sendat, bibirnya berusaha berucap:

“Bukan hanya engkau, Datu Manurung, yang merasakan duka dalam hati karena tidak adanya keturunanku, tapi akulah yang paling merasakan ketersiksaan itu. Seperti sembilu yang menyayat hati ini rasanya bila menyaksikan anak-anak itu bermain. Sedang tak satu pun dari mereka yang keluar dari rahimku. Sudah lebih sepuluh keturunanmu, kakanda, dan sebanyak itu pula kepedihan yang merobek ketegaranku.”

Tak enak rasanya hati Batara Guru menyaksikan kesedihan yang merambati diri permaisurinya. Diraihnya tubuh perempuan itu dan membawanya ke dalam pelukannya, mengusap-usapnya seraya berkata: