La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (2) Bab 7
“Kuur semangatmu duhai, Wé Datu Tompoq. Semoga semangat kahyangan tak pernah meninggalkanmu. Walaupun telah ratusan jumlah keturunanku, tetapi bukan mereka yang kuharap-kan mengganti kedudukanku kelak. Hanya tunas yang lahir dari rahimmulah yang kutunggu. Aku hanya selalu berharap, semoga dewata mendengar keinginanku ini.”
Keduanya pun saling mendekap. Air mata Wé Datu Tompoq dan Batara Guru saling beradu membentuk sketsa kegetiran dalam jiwa masing-masing. Lalu... malam pun perlahan datang, menggapai-gapai.
Dan ketika malam kian pekat, pelita pun satu demi satu dinyalakan. Kandil itu gemerlap melemparkan cahayanya hingga bagian dalam istana.
Manurungngé bangkit dan berjalan masuk ke biliknya sambil menggandeng permaisurinya. Di dalam bilik semerbak aroma bunga menyebar. Dilanda keinginan yang tak mampu dibendung, keduanya pun saling memuaskan hati di dalam sarung indah dari Kelling, bersuka ria ala orang Boting Langiq. Alangkah gembira perasaan Manurungngé berada dalam mahligai cintanya.
Lalu malam bercerita tentang sepasang kekasih yang dimabuk cinta, hingga kelelahan datang menjemput keduanya. Nyenyak sekali tidur Wé Nyiliq Timoq dan Manurungngé. Satu bantal berdua, satu pula sarung indah dari Kelling tempat keduanya menyatukan jiwa yang dahaga.
***
Di Boting Langiq, Patotoqé....
“Adinda Datu Palingéq, turunkanlah segera bissu sejati di Alé Luwu, agar dialah nanti yang mempersiapkan upacara kekahyangan tunas kita di bumi, sebab malam ini telah tinggal darahnya anak menantu, kemenakan kita.”
Datu Palingéq....
“Baiklah, Datu Patotoq, turunkan pulalah segera putra mahkota kepada anak kita, di rahim Wé Nyiliq Timoq. Aku tak tahan melihat penderitaan keduanya karena belum juga memperoleh keturunan. Tiada menentu lagi pikiran keduanya.”
***
Lalu... keesokan harinya, matahari bersinar dengan lembutnya. Fajar yang baru menyingsing membangunkan Manurungngé yang masih satu sarung dengan istrinya. Beranjak dari pembaringan, ia lantas mencuci muka di mangkuk putih, menata diri di depan cermin, membuka cerana keemasan, lalu menyirih menenangkan hati. Demikian pula dengan Wé Nyiliq Timoq.
Merasa segar, keduanya bergandengan tangan berjalan menuju ruang agung istana. Di belakang para biti perwara, orang Boting Langiq yang diturunkan dan isi balairung dari Toddang Toja yang dimunculkan, mengiringi. Bergemuruh lantai kemi-lau yang dipijak. Di atas peterana berhias emas, ke-dua penguasa Alé Luwu itu duduk berdampingan.
Di tengah hari yang masih segar itu, tiba-tiba saja dikejutkan dengan bunyi guntur saling bersahutan, kilat petir sabung-menyabung mencabik-cabik langit, badai tiada hentinya menggulung, lalu bumi menjadi gelap gulita. Dinyalakannya api dewata dari langit yang diiringi hembusan angin yang sangat kencang. Gemetarlah tubuh seluruh orang Luwu, berdiri pula bulu roma orang Ware. Saat itulah Wé Sawammégga, bissu murni dari Léténg Nriuq diturunkan. Setelah mendaratnya semua anak pengikut istana, barulah matahari kembali bersinar sempurna.
Di dalam istana, Batara Guru dapat merasakan dengan jelas kejadian itu. Sudah tak tenang lagi hati Manurungngé setelah mengetahui bahwa yang turun adalah Wé Sawammégga. Bayangan akan mendapat seorang keturunan dari Wé Datu Tompoq semakin jelas dengan turunnya bissu sejati dari Léténg Nriuq itu.