La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (3) Bab 7
Seperti tak sabar, ia bergegas memerintahkan Wé Lélé Ellung untuk secepatnya mengambil harta yang berada di loteng. Kepada Wé Saung Nriuq, Manurungngé meminta untuk membawa sesembah-an ke Latimojong dan mengundang Wé Sawam-mégga. Diperintahkan pula kepada Puang ri Luwu dan Puang ri Ware agar datang berkumpul di istana untuk berdoa bermohon pada dewata agar ia secepatnya mendapat putra mahkota.
Mendengar permintaan suaminya, buru-buru Wé Lélé Ellung memerintahkan supaya secepatnya menurunkan harta dari loteng. Berangkat pula Wé Saung Nriuq, dinaikkan ke usungan kencana, dinaungi dengan payung keemasan bersama ratusan orang yang mengiringinya pergi meng-undang ke istana Puang ri Luwu, lalu berangkat ke Latimojong. Sedang Apung Talaga terlebih dahulu berangkat ke Istana Puang ri Ware.
Belum lagi hancur daun sirih dikunyah, hampir bersamaan sampailah mereka di lereng gunung Latimojong. Kebetulan sekali tidak seorang pun penjaga terlihat di kolong istana, Puang Matoa. Begitu tiba, usungan kemilau yang ditumpangi Wé Saung Nriuq diturunkan. Ia kemudian berjalan menaiki tangga, memegang kedua susuran kemilau dan langsung naik ke istana. Setelah memberi salam, ia lantas melangkahi ambang pintu, menginjak lantai papan pinang, kemudian masuk. Kebetulan sekali, Wé Sawammégga baru selesai makan.
“Masuklah, utusan La Togeq Langiq. Duduklah, wahai utusan raja agung. Angin apa yang telah bertiup dan membawamu datang kemari. Gerangan apa yang diperintahkan oleh Batara Guru untukku?” tanya Wé Sawammégga. Wé Saung Nriuq bersama utusan lainnya kemudian duduk di atas tikar nan permai, disuguhi sirih di atas talam emas, lalu menyirih.
Usai menyirih, tanpa ragu-ragu Wé Saung Nriuq menjelaskan maksud kedatangannya.
“Hamba datang membawakanmu lipatan kain alas kaki, Puang Matoa. Ribuan pula lembar kain yang kusampirkan bersama ribuan gading yang dihiasi ratusan karat emas. Puang Manurungngé bersama permaisurinya, mengharapkan engkau segera berangkat ke istana untuk melakukan upacara doa ke Rualletté, memohon putra mahkota kepada dewata.”
Beberapa saat kemudian berangkatlah Puang Matoa bersamaan Wé Saung Nriuq dan utusan lainnya. Mereka diangkut dengan usungan kencana, dinaungi payung berhias emas. Para pengusung itu bergerak cepat, melangkah menuju istana di Alé Luwu. Adapun ribuan pengikut penghuni istana, mengiringinya di belakang.
Hanya berapa lama berjalan, rombongan itu pun memasuki beberapa kampung di Alé Luwu, lalu masuk ke halaman istana. Hampir bersamaan, tiba pula usungan kencana yang ditumpangi Puang ri Luwu dan Puang ri Ware. Keduanya adalah dukun yang tersohor. Diletakkanlah usungan yang mereka tumpangi, bersamaan menaiki tangga, berpegang pada susuran kemilau, dan terus melangkah hingga memasuki ruangan balairung.
Di dalam, kebetulan sekali Manurungngé dan permaisurinya sedang duduk berdampingan.
“Kemarilah engkau yang tinggal di Latimojong. Masuk pulalah Puang ri Luwu dan Puang ri Ware di istana manurung ini. Duduklah di atas tikar kemilau bersuji emas yang terhampar di hadapan kalian,” sapa Manurungngé, seraya mempersilahkan mereka duduk.
Serta merta ketiganya duduk seraya sujud menyembah di hadapan Manurungngé dan Wé Nyiliq Timoq. Mereka lalu disuguhi sirih pada talam emas.
“Maafkan jika telah mengganggu waktu kalian. Kami sangat mengharapkan kalian para bissu dapat segera mempersiapkan upacara untuk memohonkan kami putra mahkota kepada dewata,” jelas Manurungngé yang diiyakan Wé Nyiliq Timoq.
Tak menunggu lama, Puang Matoa segera menyiapkan pucuk enau dan daun lontar. Dikerahkanlah semua anak pengikut penghuni istana untuk melaksanakan tugas masing-masing. Bangkit pula Puang ri Luwu, memerintahkan segera menghiasi balok istana dan sado amuluq. Hiasan di langit-langit istana, dibentangkan menyerupai menjuntai daun-daun dari langit. Dipasang pula penghias di depan istana dan digantungi janur manik yang menjuntai ke tanah, simbol perhelatan di istana manurung.