Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (3) Bab 9

 

 “Wahai kalian orang Ware, tancapkanlah patok emas di belakang istana Sao Denra. Kalian orang Siwa tancapkan juga ribuan patok emas di sebelah selatan istana Sao Piti manurung. Dan kalian orang Sabbang, tancapkanlah patok emas itu di bawah istana Sao Wéro.”

Hanya beberapa lama, selesailah urusan To Tenrioddang, To Appamadeng, dan adik Wé Nyiliq Timoq, La Wéro Ileq. Tak istirahat La Mareng Mpoba mengawasi pemasangan hiasan istana. Berbagai hiasan di langit-langit istana dibentangkan, di kedua ujungnya dipasangi gelang berpilin. Tiang kencana yang kemilau dibalut pula dengan kain yang indah dan dibungkus kain cindé.

Adapun Puang Matoa mengupacarai kampak untuk menebang pohon arawaq, sebagai penghias langit-langit dan balok melintang. Anak-anak pengikut Puang Matoa terus saja mencabik-cabik janur yang akan dipasang sebagai menrawé. Tujuh ratus kuali besar telah berisi air suci, ratusan pula baki yang berisi bertih keemasan dan yang warna-warni. Sepetak rumah bahkan disiapkan untuk dilimpahi beras putih, sirih berikat-ikat, dan telur ayam, sebagai pelengkap upacara.

Di luar istana, diaturlah menrawé, tempat lewatnya kerbau camara yang akan dijadikan tumbal. Tiga ribu batang menrawé dengan bambu kuning yang bertangkaikan rangkaian kalung, berdaunkan kain cindé, berakarkan gelang berpilin, berbuah bokor, berpucuk kain membayang dari Sawang Kuttu, berbungakan kembang matahari dan bunga petir, dipasang.

Setelah semuanya terpasang, diperintahkanlah oleh To Appareppaq untuk menangkap ribuan ekor kerbau. Tidak menunggu lama berdatanganlah semua kerbau camara serba belang, ribuan jumlahnya. Kerbau yang tak ada serupa dengannya yang memenuhi lembah, mengisi perbukitan. Tujuh lembah dipenuhi, tujuh pula perbukitan yang disaratinya yang membuat orang-orang terkejut.

Namun sebuah keanehan terjadi. Tatkala hendak ditangkap dan diikat dengan tali emas, kerbau liar itu tidak mau disentuh tangan dan tidak mau tunduk saat hendak diikat. Mereka meronta-ronta, menyeruduk dan mengacung-acungkan tanduknya membabi buta. Tegaklah bulu roma orang Luwu, gemetar pula tubuh orang Ware menyaksikan tingkah kerbau itu. Mereka pun berlarian.

Nantilah kerbau itu diam saat Puang ri Laé-Laé yang tinggal di Latimojong menunjukinya. Dengan geram, sambil meludah, ia juga menghardik:

“Sombong betul engkau camara. Tak tahu hormat engkau La Bolong Setti, tak mau diikat dengan tali emas. Mengapa engkau bertingkah, I La Tambaga, La Buleng Mpéro? Tidakkah engkau tahu, Datu Manurung di Luwu, anak kandung Datu Patotoq di Boting Langiq dan Wé Nyiliq Timoq, keturunan Sinauq Toja yang akan menjadikanmu tumbal kepada To Palanroé?”

Mendengar ucapan Puang Matoa, bagaikan terkena sihir ribuan kerbau berbagai jenis itu. Mereka seperti terpukau, hingga tak seekor pun yang berani bergerak dari tempatnya.

Tertegun I La Camara, sang raja kerbau. Ia terperanjat dan seperti sadar dari tidur mendengar Manurung di Luwulah yang menginginkannya. Kepalanya langsung saja tertunduk. Menyembah sambil berkata:

“Maaflah hamba, Puang Matoa. Hamba betul-betul tak tahu, jika Puang Manurungngé yang menginginkan kami. Segeralah ikat kami dengan tali emas. Namun kami memohon, janganlah Puang menyampaikan kejadian ini ke hadapan Datu Manurung.”

Maka bergeraklah semua yang ditugaskan menangkap kerbau camara yang ribuan jumlahnya, mengikatnya dengan tali emas, mencocok hidungnya dengan gelang emas besar, dan gelang perpilin dari Léténg Nriuq. Dililiti pula dengan tali emas dari Limpo Bonga dan rantai Manila berpintal emas sebagai penariknya. Semuanya dicambuk dengan cemeti emas.