Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rahasia Ibu


Perempuan tua yang terbaring di atas ranjang rumah sakit itu adalah ibuku. Rambutnya telah dipenuhi warna putih. Bait-bait kerutan nampak jelas terlihat menghiasi wajahnya yang pucat. Serupa pahatan patung yang masih kasar dan belum berbentuk, garis-garis itu begitu kokoh menggurat. Meski begitu, ibu berusaha terus untuk tersenyum.

Setiap hari ibu memang selalu nampak ceria. Hidup, menurutnya, harus dinikmati dan disyukuri apapun yang terjadi pada diri kita.

“Hidup ini adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT yang harus kita nikmati dan syukuri. Apapun yang kita alami merupakan bagian dari perjalanan hidup yang harus dilalui. Tak ada masalah yang besar, tak ada masalah yang kecil, semua tergantung keluasan hati kita dalam menyikapinya.” Aku tak tak pernah melupakan kalimat itu.

Suatu hari ibu menceritakan tentang kisah seseorang yang sedang mendapat permasalahan yang menurut orang itu sangat berat dan begitu sulit. Kehidupan baginya terasa begitu pahit. Berbagai persoalan datang silih berganti.

…. Orang itu pun akhirnya mendatangi seorang bijak untuk menceritakan persoalan yang dihadapinya. Setelah mendengar dan berusaha merasakan derita yang dialami oleh orang itu, maka orang bijak itu pun mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Kemudian meminta orang itu untuk memasukkan segenggam garam, mengaduk dan meminumnya. Tanpa bertanya sedikitpun orang itu melaksanakan permintaan orang bijak itu.

“Bagaimana rasanya?”
“Sangat asin, bahkan lebih mendekati rasa pahit.”

“Baiklah. Kalau begitu ambillah segenggam garam dan ikut denganku.”
Orang bijak itu pun melangkah keluar rumah menuju sebuah danau yang tak jauh dari rumahnya. Perlahan ia duduk di tepi danau dan orang itu pun mengikuti dan duduk di sampingnya.
“Sekarang lemparkanlah garam itu ke danau dan aduklah air danau ini dengan tongkat.”
Orang itu pun melemparkan garam yang ada dalam genggamannya dan mengaduk air danau dengan tongkat yang diberikan oleh orang bijak itu.

“Sekarang minumlah air danau itu.”
Orang itu segera mengambil air danau dengan tangan, lalu meminumnya.
“Bagaimana rasanya?”
“Segar.”

Orang bijak itu sejenak terdiam. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menatap orang itu. “Nah, begitulah kehidupan. Segenggam garam itu diandaikan seperti permasalahan atau pahitnya kehidupan yang kita alami. Sedang gelas dan danau ini seperti hati kita, jiwa kita, qalbu kita. Tak ada persoalan yang besar, tak ada persoalan kecil. Sebab besar kecilnya persoalan, tergantung dari keluasan hati kita menanggapinya. Semakin luas hati kita, maka rasa pahit getir persoalan yang kita hadapi akan semakin tak terasa. Jadi kepahitan yang kita rasakan akan tergantung dari wadah yang kita miliki untuk menampungnya. Semakin besar wadah yang kita miliki untuk menampung persoalan dan kepahitan hidup akan membuat hati kita tetap tenang. Jadi apalagi kita menghadapi persoalan, kegalalan atau apapun namanya yang kita anggap sebagai kepahitan hidup, maka luaskanlah hati kita. Dengan begitu kita akan merasa tenang dan dapat berpikir baik untuk menghadapinya. Hati kita adalah wadahnya. Perasaan kita merupakan tempatnya. Qalbu kita menjadi tempat menampung segalanya. Karena itu, jangan jadikan hatimu seperti gelas, tapi buatlah laksana telaga yang dapat meredam semua kepahitan dalam hidup dan menjadikan kita tetap segar dan bahagia….

Aku tak pernah melupakan kisah yang begitu mengispirasi itu. Kisah yang beberapa kali diceritakan ibu kepada kami, saat menjelang tidur, atau ketika kami menghadapi masalah. Cerita itu benar-benar merasuk ke dalam hati dan pikiranku.

Karena itulah mungkin yang membuat wajah ibu selalu ceria. Tak pernah hilang dari ingatanku bagaimana wajah ibu yang terlihat cerah, seolah tak ada derita dalam dirinya. Sungguh pun setelah ayah pergi meninggalkan kami sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ibu memang selalu nampak ceria dan penuh semangat, walau beban kehidupan keluarga sepenuhnya berada di pundaknya. Hampir tak pernah ibu menampakkan kelelahan, meski ia harus keliling berjualan kue buatannya sendiri.

Tapi kini ibu terkulai di atas pembaringan, di dalam sebuah kamar VIP rumah sakit. Sebuah ruangan yang sesungguhnya berhasil kudapatkan setelah terlebih dahulu berdebat dengan ibu. Seperti dulu, ibu selalu tak ingin merepotkan orang lain, bahkan anak-anaknya sendiri.

“Tidak usah mengambil kamar yang mahal, Nak,” kata ibu saat mendengar aku menyuruh adikku untuk mengambil kamar VIP.

“Tidak apa-apa, Bu. Kan biar keluarga tidak berdesak-desakan jika datang menjenguk ibu. Apalagi ibu sangat butuh ruangan yang nyaman agar ibu bisa segera sembuh.”
“Tapi uang ibu tidak cukup untuk membayar kamar itu.”

Mendengar kalimat ibu, aku sungguh tak sanggup mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Mulutku tiba-tiba terkunci rapat. Keheningan merambati kesadaranku. Hanya air mata yang tiba-tiba menggenang di sudut mataku dan mengalir membasahi pipi. Sikap ibu tak pernah berubah. Ibu selalu tak mau membebani anak-anaknya.

Sejak aku dan adikku sudah mulai bekerja bahkan boleh dikata kehidupan kami berdua cukup mapan, ibu tetap tak mau menerima pemberian kami, kecuali jika kami memberikannya hadiah saat ulang tahun, lebaran atau momen-momen tertentu. Itu pun ibu selalu mengatakan, jangan selalu memberinya apa-apa, karena ibu masih mampu membiayai kebutuhannya.

“Ibu masih kuat bekerja dan memenuhi kebutuhan ibu sendiri. Lebih baik kau menjaga dan memelihara baik-baik istri, terlebih anak-anakmu. Mereka lebih penting daripada ibu. Mereka anak-anak yang luar biasa. Aku kagum pada mereka. Itu tugas yang sangat penting bagimu. Sebuah amanah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang tua dan harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Karena itu kau harus menjalankannya dengan baik dan penuh tanggung jawab.”
Tentu setiap mendengar itu, aku selalu tak kuat menahan kesedihanku. Ibu tak pernah mau membiarkan orang lain membantu, apalagi merasa kasihan kepadanya, bahkan oleh anak-anaknya sendiri. Ibu selalu menampakkan ketegarannya, walau kadang tak sesuai yang ia alami.

 Malah suatu ketika, saat aku dan adikku mengajaknya untuk tinggal bersama kami, ibu menolak dengan sangat halus. Ibu tak mau ikut dan tinggal serumah dengan anak-anaknya dengan alasan tak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya. Bagi ibu, tanggungjawabnya sebagai orang tua itu sampai ia atau anak-anaknya meninggal.

“Tanggung jawab orang tua kepada anak-anaknya itu, sampai orang tua atau anak-anaknya sudah tiada. Jika ibu tak mampu lagi membantu anak-anak ibu, minimal ibu tidak menjadi beban bagi kalian.”

Aku benar-benar tak bisa melupakan kata-kata yang ibu ucapkan saat aku, untuk kesekian kalianya, mengajak ibu ikut bersamaku yang kebetulan akan melanjutkan pendidikan S 3 di luar negeri. Tentu saat melanjutkan sekolah di luar negeri, aku akan sangat sulit menemui ibu. Terlebih adikku juga sedang melanjutkan pendidikan S2 nya di Amerika dan kami semua memboyong istri dan anak-anak ikut bersama.

Ibu selalu mampu dengan sangat halus berusaha menolak keinginan kami dengan berbagai alasan. Ibu lebih memilih hidup sendiri dan tidak ingin meninggalkan rumah yang telah puluhan tahun ia tinggali bersama kami.

Mengenang berbagai penolakan ibu membuatku meneteskan air mata. Terlebih ketika ibu kembali menolak saat aku memilih kamar VIP sebagai tempat untuk merawat ibu di rumah sakit. Itupun sebelumnya ibu hanya meminta untuk dibawa ke Puskesmas. Bukan aku tidak percaya atau ragu pada Puskesmas, tapi aku ingin memberikan perawatan yang terbaik kepada ibu. Sebagai anak, aku dan adikku tentu harus memberikan yang terbaik bagi ibu yang selama ini juga merawat kami dengan segala kemampuan yang terbaik yang dimilikinya. Tentu apapun yang kuberikan pada ibu, tak akan mampu menggantikan semua yang diberikannya dalam hidupku.

“Izinkan aku berbuat yang terbaik untuk ibu. Jangan biarkan anak-anak ibu menjadi anak-anak durhaka yang tak mampu memberikan yang terbaik pada ibunya, padahal anak-anak ibu mampu melakukannya,” ucapku penuh harap. Linangan air mataku kian menderas tak mampu kubendung.
Mungkin karena tak kuat melihat air mataku yang terus mengalir, sebab memang aku tak mampu lagi menahan perasaan sedih melihat kondisinya yang kian parah, membuat ibu menerima permintaanku. Entahlah. Yang pasti sorotan mata ibu terlihat begitu dalam menatapku, seakan ingin menyelami kedalaman samudera hatiku hingga yang paling dalam. Aku bisa merasakannya. Tatapan yang senantiasa kusaksikan tatkala memaksa ibu untuk mengikuti keinginanku.

Ibu selalu berusaha menabur senyum di wajahnya. Padahal penyakit kanker, yang ternyata telah dideritanya cukup lama, sangat mengancam nyawanya. Ibu memang selalu mampu menyembunyikan penderitaannya. Kendati anak-anaknya telah mengetahui, ia selalu berusaha untuk tegar dan tidak mau menerima bantuan kami.

Di atas pembaringan, mata ibu tetap terbuka. Senyumnya masih terus tersungging. Nampak garis-garis kecil di sudut bibirnya yang sedikit pucat. Aku sangat khawatir dengan keadaan ibu. Tetapi perempuan yang telah melahirkanku itu selalu saja menampakkan ketegarannya. Seakan tak ada derita yang mampu membuatnya menyerah, bahkan oleh penyakit yang kini menimpanya. Penyakit yang menurut dokter kemungkinan besar akan merenggut nyawanya.

“Ibu sebaiknya istirahat. Tidurlah dulu, Bu. Ibu harus banyak istirahat. Paling tidak ibu bisa mendapatkan lebih banyak kekuatan.” Aku berusaha membujuk ibu dengan segala kemampuanku.
Saat ini, aku begitu berharap dapat membujuk ibu untuk sedikit saja tidak lagi mengurusi kami dan lebih memperhatikan kesehatannya.

“Ibu tidak apa, Nak. Kamu yang seharusnya banyak istirahat. Apalagi pekerjaanmu begitu banyak dan membutuhkan pikiran yang jernih dan fisik yang kuat untuk menyelesaikannya. Kalau kurang istirahat pasti kamu sulit untuk bekerja dengan baik.”

Jawaban itu selalu bisa kutebak. Aku selalu mampu menerka jawaban-jawaban itu. Jawaban-jawaban yang selalu menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi. Jawaban yang penuh ‘kebohongan’, agar tidak membuat kami khawatir terhadap keadaan ibu.

Aku teringat setiap kami makan. Kejadian ini sering sekali terjadi, utamanya saat makanan yang tersedia benar-benar pas-pasan. Sejak ayah pergi, kehidupan kami memang bertambah miskin. Bahkan untuk sekedar makan pun, kami kerapkali kekurangan. Karena itu, hampir setiap kali makan, ibu memberikan jatah makanannya untuk kami berdua. Sambil memindahkan nasi atau lauknya ke piring kami, ibu selalu mengucapkan kalimat yang hampir sama: “Makanlah, Nak! Ibu tidak lapar.”
Makanan yang tidak seberapa itu seringkali berpindah ke piring kami. Aku dan adikku selalu tak mampu menolak. Terlebih tatkala kami masih kecil yang belum tahu hal yang sesungguhnya. Meski dalam hati kami selalu pula bertanya-tanya, kapan, dimana dan apa yang ibu makan.

Hingga suatu hari, tanpa sengaja aku menemukan ibu sedang mengeruk-ngeruk kerak nasi yang sudah gosong dari periuk. Saat itu, aku begitu sedih dan air mataku mengalir begitu deras. Aku menceritakan kepada adikku dan berusaha menyembunyikannya apa yang kulihat. Sejak itulah, kami selalu menolak keras jika ibu memberikan makanannya kepada kami. Meski selalu mendapat perlawanan dari ibu, namun kami sesekali berhasil membuat ibu makan seperti kami.

Melihat ibu terbaring lenguh, aku sungguh tak sanggup menahan derita batinku. Beribu rasa berdosa menghampiriku. Aku benar-benar merasa anak yang tak berguna. Anak yang tak mampu memberikan yang terbaik bagi ibunya sendiri. Ibu yang telah mencurahkan segala kasih sayangnya sejak dalam kandungan.

Di atas pembaringan, ibu terlihat tak berdaya. Gerakannya tak lagi selincah dulu. Namun suaranya masih tetap terdengar keras, kendati tak sekecang saat ibu masih sehat.

Guratan-guratan ketegaran begitu terlihat di wajahnya. Meski saat berjalan tubuhnya sedikit membungkuk, ringkih. Jalannya pun agak tertatih. Tentu karena tulangnya yang telah menua tak sanggup lagi membawa beban tubuhnya.

Tapi, perempuan tua itu adalah ibu. Ibu yang tak begitu gampang menyerah pada apapun yang menimpanya. Ibu yang selalu terlihat bahagia, walau penderitaan hampir tak pernah menjauh darinya. Ibu yang akan terus berusaha untuk tidak menjadikan dirinya beban bagi orang lain. Kendati ia selalu menghargai setiap kebaikan yang diberikan oleh orang lain, tapi ibu senantiasa berusaha untuk tidak menerima bantuan orang, meski itu dari anak-anaknya.

Itulah ibuku. Perempuan tangguh yang kini terbaring lemah di atas pembaringan rumah sakit. Di atas ranjang yang terbungkus seprei putih dan dinding serta langit-langit kamar yang serba putih itu telah 2 hari ditinggalinya.

“Jangan bersedih, Nak.” Ibu membaca dengan baik perasaan yang berkecamuk di hatiku. “Ibu tidak apa-apa. Penyakit ini tidak akan membunuh ibu. Ibu akan tetap sehat dan akan terus mendoakan kalian. Kata dokter ibu akan segera sembuh. Kamu jangan khawatir. Kembalilah ke rumah. Kasian anak-anakmu tidak ada yang mengurusi.”

Aku hanya memandang wajah ibu dengan penuh takzim. Air mataku tak henti-hentinya mengalir, melukis kesedihan yang teramat dalam di wajahku. Aku tahu ibu berbohong kepadaku. Entah kebohongan ke berapa yang telah ibu lakukan selama kami bersama, demi kebaikan kami, kendati harus mengorbankan dirinya. Aku tahu, ibu selalu berusaha terlihat tegar dan tak memiliki masalah, terutama di hadapan anak-anaknya.

“Tidak, Bu. Kami akan tetap di sini menemani ibu. Kami bisa bergantian menjaga ibu. Anak-anak juga akan datang ke sini bersama ibunya jika mereka pulang sekolah. Mereka juga sangat kangen pada ibu. Karena itu, ibu harus sembuh.”

Aku dan adikku berusaha menyakinkan ibu agar tak lagi mempermasalahkan apa yang kami lakukan terhadapnya. Kami sungguh sangat ingin melakukan yang terbaik bagi ibu, setelah puluhan bahkan mungkin ratusan kali ibu menolak niat baik kami. Tapi ibu selalu berkeyakinan bahwa tugasnyalah yang harus membahagiakan dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya dalam keadaan apapun.
Aku dan adikku tidak menyalahkan ibu. Apa yang ibu yakini memang benar. Orang tua harus bertanggungjawab pada anaknya sampai orang tua atau anak-anaknya meninggal. Namun anak-anak juga berkewajiban untuk mengabdi kepada orang tuanya sampe akhir hayat.

Sebagai anak, tentu aku sangat tidak tega melihat pengorbanan ibu yang puluhan tahun telah mengurus kami. Ya, meski ibu selalu membahasakannya sebagai tugas, kewajiban, pengabdian pada Allah, dan tanggung jawab yang memang harus ia selesaikan dengan baik untuk menjaga dan memelihara titipan Allah yang diberikan padanya.

Tentu saja, apa yang aku perbuat untuk ibu tak pernah akan mampu membalas apa yang telah ibu berikan. Meski bagi ibu, itu adalah tugas, kewajiban, pengabdian pada Allah, dan tanggung jawab yang harus ia selesaikan dengan baik. Tapi sebagai anak-anaknya, mengabdi kepada orang tua tentu merupakan pengabdian yang sangat mulia.

“Baiklah, jika kau memaksa. Tapi ingat tanggung jawabmu pada anak-anakmu jauh lebih besar. Berikan kepada mereka yang terbaik yang kalian miliki. Didiklah mereka dengan baik, utamanya mengenai agama. Jaga dan lindungi mereka dengan sebaik-baiknya agar mereka merasa tenang. Jadikan kalian sebagai kebanggaan mereka, meski kalian tidak dapat memberikannya materi yang banyak. Sebab itulah tugas utama sebagai orang tua kepada anak-anaknya, menjadikan mereka anak-anak yang baik dan cerdas. Akan tetapi yang paling penting, mereka harus menjadi anak-anak yang saleh.”

Ibu menarik nafas agak panjang, lalu terdiam. Tatapan ibu seperti kosong. Matanya perlahan terpejam. Raut muka itu terlihat begitu tenang. Seperti tak ada sedikit pun beban yang ia rasakan. Selarik senyum seolah menghiasi wajahnya.

Kesedihan kian merambati hingga dikedalaman hatiku. Kubiarkan air mataku mengalir. Batinku perih, “Ibu…. Kebaikan apapun yang anak-anakmu lakukan padamu, tak akan pernah mampu membalas segala kasih sayang yang telah ibu berikan kepada kami.”

* * *

“Selamat pagi.”
“Selamat pagi, Dok.”
“Bagaimana keadaan Ibu?”
“Baik, Dok. Ibu baru saja tertidur. Mungkin capek,” jawabku.
“Aku periksa dulu, ya.”

Aku berdiri bersama adikku dan berjalan mengikuti dokter ke tepi pembaringan.
Kulihat dokter memegang kepala ibu dan mengusap rambutnya.

“Innalillahi wainnailahi rajiun,” ucap dokter sesaat setelah jarinya diletakkan di depan lubang hidung ibu dan dengan cepat mengecek denyut nadi di pergelangan dan leher ibu.

Aku terkesiap. Wajahku mungkin telah pucat pasi. Rasanya tak ada darah yang mengalir.
Dengan cepat aku pun meletakkan jari di depan lubang hidung ibu, mengecek denyut nadi di pergelangan tangan dan lehernya berharap dokter salah memberikan informasi. Namun apa yang kurasakan persis sama yang dirasakan dokter. Hembusan nafas ibu tak ada. Denyut nadinya pun tak terasa.

Kurasakan seakan langit runtuh. Petir menyambar-nyambar, menyabung-nyabung di angkasa. Gelegar tak henti-henti memporak-porandakan pendengaranku, lalu hening...tak ada suara. Pandanganku lamat-lamat mengabur, buram, lantas gelap menyelubungi. Aku tak kuasa menahan diri untuk tetap tersadar. Berusaha untuk tak kehilangan sosok ibu dari ingatanku. Aku terus berusaha melawan gelap yang kian mencengeram. Menghalau ketakberdayaan yang berusaha untuk terus mendekapku.

Sesungguhnya bukan kepergian ibu yang membuatku bersedih dan teramat sulit menerima kenyataan yang kini kuhadapi. Namun karena selama ini aku merasa tak mampu memberikan kasih sayang yang terbaik untuk ibu. Aku merasa tak mampu membahagiakannya, walaupun ibu selalu berkata sudah sangat bahagia melihat keadaanku, kehidupan adikku dan keluarga kami. Ibu hampir tak pernah memberiku kesempatan untuk mengabdi kepadanya dengan sepenuh jiwaku.

“Ibu, seandainya ada yang patut disembah di dunia ini, maka engkaulah yang paling pantas untuk disembah,” batinku menjerit, menggaung di sepanjang perjalanan hidupku. Lukaku terasa begitu perih tercecer di lembah-lembah terdalam kesadaranku.

Berderet doa-doa kupanjatkan kepada Tuhan. Doa-doa terbaik kupersembahkan untuk ibu. Ibu yang telah berjuang selama hidupnya untuk berbiat yang terbaik. Ibu pergi dengan semua rahasia yang mampu didekap erat selama perjalanan hidupnya. Kemampuan ibu menyembunyikan apa yang ia rasakan demi menimbulkan rasa damai dan membahagiakan  anak-anaknya, sungguh luar biasa. Meskipun ibu harus mengorbankan dirinya sendiri.

“Ibu, doakan aku untuk dapat menjadi orang tua sepertimu. Aku juga ingin menjadi yang terbaik bagi anak-anakku. Menjadi panutan bagi mereka.”

Air mata kian menderas mendobrak-dobrak kesadaranku.  Penuh takzim, kuraih kaki ibu dan membasuhnya penuh ketulusan dengan air, lalu meminumnya. Sesuatu yang selama ini ingin kulakukan, namun ibu selalu melarangnya.

Makassar, 20 Februari 2017